Kamis, 10 Maret 2016

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS MAHASISWA




Siti Sri Wulandari
Universitas Negeri Surabaya
wulan.unesa@gmail.com


                                                            ABSTRAK
Penelitian ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran. Penerapan Problem Based Learning mampu mengembangkan pemahaman konseptual dan inovasi mahasiswa sebagai bekal mahasiswa di masa depan, sehingga mahasiswa mampu menganalisis dan melahirkan alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Analisis yang digunakan dalam  penelitian  ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Rata-rata nilai keberhasilan dari data aktivitas dosen dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88. Untuk rata-rata nilai keberhasilan dari   kemampuan berfikir kritis mahasiswa dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan  yaitu pada siklus I sebesar 58,4 meningkat 21,4 pada siklus II menjadi 80 dari kategori cukup kritis meningkat menjadi kategori kritis.Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah sebagai alternatif pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa.
Kata kunci:  Pembelajaran, Problem Based Learning, Berfikir kritis.

                                                                        ABSTRACT
This study describes the application of learning with Problem Based Learning approach which can improve students' critical thinking skills Education Office Administration. Application of Problem Based Learning is able to develop conceptual understanding and innovation of students as a preparation to students in the future, so that students are able to analyze and give birth to alternative solutions to problems in everyday life. This type of research is a classroom action research. The analysis used in this study is a qualitative descriptive analysis. The average value of the success of faculty activity data in each cycle is increased in the first cycle of 5.11 and the second cycle of 5.88. For the average value of the success of the critical thinking skills of students in each cycle is increased in the first cycle of 58.4 increased 21.4 in the second cycle to 80 of categories is critical to increase to critical category. Based on these results suggested implementing problem-based learning model as an alternative to learning to improve students' critical thinking skills.
Keywords : Learning , Problem Based Learning , Critical Thinking

I.    PENDAHULUAN
            Setiap manusia memiliki keinginan berhasil didalam hidupnya, salah satu keberhasilan itu dapat berupa bidang pendidikan. Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Hal ini karena pendidikan merupakan proses budaya yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan itu sendiri berlaku seumur hidup dan dilakukan dalam lingkungan, keluarga, pendidikan formal (sekolah) dan masyarakat. Untuk itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Negara. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
            Proses pendidikan yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan. Pendidikan juga harus berorientasi pada peserta didik dan peserta didik harus dipandang sebagai seorang yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Tugas pendidik adalah mengembangkan potensi yang dimiliki mahasiswa. Berdasarkan pengamatan, diperoleh fakta bahwa dosen dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa masih menggunakan metode ceramah, cara mengajar yang digunakan dalam menyampaikan  informasi tentang suatu pokok permasalahan secara lisan. Meskipun telah menerapkan diskusi kelas yang bersifat tradisional tanpa disertai contoh penerapan dalam kehidupan nyata sehingga mahasiswa dikelas menjadi pasif, bahkan ada mahasiswa yang bosan dikarenakan hanya mendengarkan dan terpaku pada apa yang dikatakan oleh dosen dan sesekali mencatat, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud adalah proses belajar mengajar pada mata kuliah ilmu komunikasi.
            Oleh karena itu, karakteristik pembelajaran standar kompetensi memahami dan mengimplementasikan ilmu komunikasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran mulai dari tahap dasar sampai dengan evaluasi  menghendaki pemahaman tidak hanya pada persoalan-persoalan substansi atau muatan akademik semata, akan tetapi juga menuntut adanya kemampuan interaksi sosial dari mahasiswa. Kompetensi dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan cukup erat dengan realitas persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kemampuan berfikir kritis diperlukan dalam pembelajaran pada mata kuliah Ilmu Komunikasi, terutama dalam Kompetesi Dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan. Sesuai dengan tujuan pembelajaran Berbasis Masalah yaitu membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, memecahkan masalah, dan ketrampilan intelektual, maka siswa dituntut memiliki kemampuan berfikir kritis. Melalui pembelajaran Ilmu Komunikasi diharapkan mahasiswa mampu menganalisis dan melahirkan alternatif pemecahan masalah.
            Menurut La Costa dalam Sanjaya (2006:105) mengklasifikasikan berpikir menjadi tiga yaitu teaching of thinking, teaching for thingking, dan teaching about thinking. Kemampuan berpikir kritis dapat meningkatkan partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, berpikir kritis, dan mengadakan justifikasi. Oleh karena itu, adanya keterampilan berpikir kritis diharapkan mahasiswa tak hanya memahami fakta sebatas hafalan tetapi juga dapat merasa bahwa fakta-fakta atau masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang disampaikan oleh dosen berada di sekitar kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah Ilmu Komunikasi (2) Pembelajaran Berbasis Masalah mampu membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.

II.    METODE
            Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) . Analisis yang digunakan dalam  penelitian  ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah  mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran angkatan 2012 berjumlah 32. Lokasi dalam penelitian ini di Fakultas Ekonomi  Universitas Negeri Surabaya. Teknik pengumpulan data  menggunakan observasi dan instrument non tes. Analisis data menggunakan deskriptif, tabel, persentase. Untuk menganalisis hasil penilaian yang diberikan oleh pengamat terhadap kemampuan dosen dalam mengelola pembelajaran dengan cara menghitung rata-rata skor penilaian oleh dua orang pengamat menggunakan interval skor 1 sampai dengan 4, dengan ketentuan kriteria sebagai berikut:

1 = tidak baik                                      3 = baik
2 = kurang baik                                   4 = sangat baik
Selanjutnya rata-rata di atas akan dikonversi menggunakan ketentuan sebagai berikut :
1.00 − 1.50 = Tidak baik/ tidak terlaksana
1.50 − 2.49 = kurang baik/ terlaksana dengan kurang baik
2.50 – 3.49 = cukup baik/ terlaksana dengan cukup baik
3.50 – 4.49 = baik/ terlaksana dengan  baik
4.50 – 5.50 = baik sekali/ terlaksana dengan sangat baik                   (Kunandar, 2008:235)
Untuk menganalisis hasil tes kemampuan berpikir kritis diperiksa dan diberi skor. Pemberian skor disesuaikan dengan skor maksimal per butir soal. Mengubah skor kualitatif menjadi skor kuantitatif, yakni mengubah opsi yang diperoleh dari lembar observasi dalam bentuk angka atau nilai. Penilaian ini menggunakan skala likert yakni dengan menggunakan 4 opsi yaitu: (1) Sangat Kritis : skor 4. (2) Kritis: skor 3 (3) Cukup Kritis : skor 2 (1) Kurang Kritis: skor 1 (Arikunto, 2010:146). Selanjutnya dihitung persentase penguasaan tes kemampuan berpikir kritis dengan rumus :
P  =   n   x 100 %
          N
Keterangan:
P = persentase kemampuan berpikir kritis
n = jumlah skor yang diperoleh
N = jumlah skor maksimal yang diharapkan
Tabel 2.1 : Kriteria Berfikir Kritis Mahasiswa
No
Rentang Skor
Kriteria
1
81-100%
Sangat Kritis
2
63-80%
Kritis
3
43-62%
Cukup Kritis
4
25-42%
Kurang Kritis
            Pada tahap penelitian tindakan terdiri dari beberapa siklus,  tiap siklus melalui 4 tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (Action), pengamatan (Observation), dan refleksi (Reflective). Pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua kali putaran dan tiap putaran pada penelitian ini mengkuti alur rancangan penelitian tindakan. Garis besar penelitian disusun sesuai rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) dalam bentuk bagan seperti yang digambarkan sebagai berikut:

























 











?
 
                                                           
                                                                        Sumber : Suharsimi Arikunto  (2010)                                                           
Gambar 2.1 : Alur Penelitian Tindakan Kelas

III.    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    HASIL PENELITIAN
Aktivitas Dosen dalam menerapkan model  pembelajaran berbasis masalah pada siklus I.  Tabel 3.1 Aktivitas Dosen Pada Siklus I














No
Aspek yang diamati
Pengamat
Total
Kategori
I
PENGAMATAN KBM
P1
P2
Skor



A.    PENDAHULUAN
1.   Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
4
4
4
 Baik
2.   Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menggali informasi.
4
4
4
 Baik
3.   Mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok.
3
3
3
Cukup Baik
4.   Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social.
3
3
3
Cukup Baik
B.    KEGIATAN  INTI
5.Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar dengan cara memberikan LKM.
4
4
4
Baik
6.Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengerti dalam LKM serta membantu temannya yang kesulitan
4
4
4
Baik
7.Memecahkan masalah yang telah dipilih 
3
3
3
Cukup Baik
8.Melakukan penyelidikan setahap demi setahap diawali dari perumusan masalah.
4
4
4
 Baik
9. Merumuskan hipotesis atas rumusan masalah yang telah dibuat
4
4
4
 Baik
10.Menguji hipotesis yang sudah dirumuskan
4
4
4
Baik
11.Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat.
3
3
3
Cukup Baik
12.Menyajikan hasil diskusi dengan penuh tanggung jawab
4
4
4
 Baik
C.    KEGIATAN PENUTUP
13. Bersama-sama menganalisis dan evaluasi pemecahan masalah
4
4
4
 Baik
II
SUASANA KELAS

14.  Siswa Antusias
4
4
4
 Baik
15.  Guru Antusias
4
4
4
 Baik
16.  Waktu sesuai dengan alokasi
3
3
3
Cukup Baik
17.  KBM sesuai dengan RPS
3
4
3.5
 Baik
Jumlah skor yang didapat
3.68
 Baik
Nilai
5.11
Baik Sekali
Berdasarkan tabel 3.1 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan pengamatan menunjukkan jumlah skor yang didapat 3.68. Jumlah skor tersebut diperoleh dari penilaian terhadap 17 komponen pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran dapat dihitung dengan rumus :
Nilai = Skor yang didapat X 100
           Skor Maksimum

Nilai = 3.68 X 100
              68

        = 5.11
Berdasarkan criteria keberhasilan maka nilai 5.11 pada aktivitas dosen pada siklus I dapat dikategorikan  baik. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada siklus I ada 5 indikator  yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen yang memiliki nilai cukup baik. Pada  kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social . Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Kekurangan-kekurangan dalam aktivitas guru pada siklus ke I diharapkan dapat diperbaiki pada kegiatan siklus ke II.
Aktivitas Dosen dalam menerapkan model  pembelajaran berbasis masalah pada siklus II.  Tabel 3.2 Aktivitas Dosen Pada Siklus II
No
Aspek yang diamati
Pengamat
Total
Kategori
I
PENGAMATAN KBM
P1
P2
Skor



A.    PENDAHULUAN
1.   Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
4
4
4
Baik
2.   Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menggali informasi.
4
4
4
Baik
3.   Mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok.
4
4
4
Baik
4.   Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social.
4
4
4
Baik
B.    KEGIATAN  INTI
5.    Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar dengan cara memberikan LKM.
4
4
4
Baik
6.    Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengerti dalam LKM serta membantu temannya yang kesulitan
4
4
4
Baik
7.      Memecahkan masalah yang telah dipilih 
4
4
4
Baik
8.      Melakukan penyelidikan setahap demi setahap diawali dari perumusan masalah.
4
4
4
Baik
9.      Merumuskan hipotesis atas rumusan masalah yang telah dibuat
4
4
4
Baik
10.  Menguji hipotesis yang sudah dirumuskan
4
4
4
Baik
11.  Mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat.
4
4
4
Baik
12.  Menyajikan hasil diskusi dengan penuh tanggung jawab
4
4
4
Baik
C.    KEGIATAN PENUTUP
13.  Bersama-sama menganalisis dan evaluasi pemecahan masalah
4
4
4
Baik
II
SUASANA KELAS

14.  Siswa Antusias
4
4
4
Baik
15.  Guru Antusias
4
4
4
Baik
16.  Waktu sesuai dengan alokasi
4
4
4
Baik
17.  KBM sesuai dengan RPS
4
4
4
Baik
Jumlah skor yang didapat
4.00
Baik
Persentase
5.88
Baik Sekali







Pada siklus II pada tabel 3.2 dapat disimpulkan bahwa  aktivitas dosen berdasarkan pengamatan dari 2 orang pengamat menunjukkan jumlah skor yang didapat 4.00. Jumlah skor tersebut diperoleh dari penilaian terhadap 17 Komponen pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran dapat dihitung melalui rumus :
Nilai = Skor yang didapat X 100
Skor Maksimum


Nilai = 4.00 X 100
 68

       = 5.88
Pada siklus II aktivitas dosen sudah diperbaiki melalui refleksi dari siklus II yaitu pada kegiatan pendahuluan terdapat yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social . Pada kegiatan inti indicator memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Sedangkan pada suasana kelas indicator waktu sesuai dengan alokasi. Pada pelaksanaan pembelajaran siklus II ini mengalami peningkatan dibandingkan siklus I yang memiliki 5 indikator berkategori cukup baik. Dengan demikian aktivitas dosen pada siklus II ini dapat dikategorikan baik sekali pada 17  komponen dengan nilai keberhasilan sangat baik atau pembelajaran terlaksana dengan sangat baik.
Rata-rata aktivitas dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah  pada siklus II disajikan dalam tabel 3.3 dibawah ini.
Tabel 3.3 Rata-rata Aktivitas Dosen
KBM
Siklus 1
Siklus 2
Rata-rata
Kategori
Skor yang didapat
3.68
4
3.84
Baik
Nilai Aktivitas Dosen
5.11
5.88
5.5
Baik Sekali
           
            Pada tabel 3.3 dapat disimpulkan bahwa rata-rata nilai keberhasilan dari data aktivitas dosen adalah dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88. Karena data aktivitas dosen telah mengalami kenaikan sampai kategori sangat baik  maka RPS yang dibuat pada penelitian ini, sudah terlaksana dengan sangat baik pada siklus ke II.

Hasil Ketrampilan Berfikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah siklus I.
Tabel 3.4  Hasil Observasi Berfikir Kritis Mahasiswa Per Indicator dan Per Aspek
Indikator/Aspek yang diamati
Jumlah
Skor
Kriteria
A
KETRAMPILAN MENGANALISIS



Menghubungkan masalah khusus yang menjad subyek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum
63%
Kritis

Menanyakan pertanyaan yang relevan
57%
Cukup Kritis

Meminta elaborasi
55%
Cukup Kritis

Rata-rata A
58%
Cukup Kritis
B
KETERAMPILAN MENSINTESIS



Menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk mengembangkan ide-ide baru.
56%
Cukup Kritis

Mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan
58%
Cukup Kritis

Mendengarkan dengan hati-hati
57%
Cukup Kritis

Berfikiran terbuka
55%
Cukup Kritis

Berbicara dengan bebas
65%
Cukup Kritis

Bersikap sopan
64%
Cukup Kritis

Rata-rata B
59%
Cukup Kritis
C
KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKAN MASALAH



Memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah ada.
56%
Cukup Kritis

Menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh
55%
Cukup Kritis

Meminta klarifikasi
56%
Cukup Kritis

Menanyakan sumber informasi5
57%
Cukup Kritis

Rata-rata C
56%
Cukup Kritis
D
KETERAMPILAN MENYIMPULKAN



Berusaha untuk memahami
56%
Cukup Kritis

Memberikan ide dan pilihan yang bervariasi
55%
Cukup Kritis

Rata-rata D
56%
Cukup Kritis
E
KETERAMPILAN MENGEVALUASI



Mampu mengerjakan soal evaluasi
65%
Kritis

Mampu menganalisis soal evaluasi
60%
Cukup Kritis

Rata-rata E
63%
Kritis
Rata-rata berfikir kritis
58,4%

Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 3.4 dapat diketahui bahwa :
a)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya sesuai materi dalam Ilmu Komunikasi.
b)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan memperoleh skor sebesar 57% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa mengajukan pertanyaan dan sedikit menyimpang dari topik.
c)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta eloborasi memperoleh skor sebesar 55% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya Jika di dalam kelompok yang telah ditunjuk untuk membacakan hasil diskusi, mahasiswa saling melemparkan tanggung jawab untuk maju di depan kelas.
d)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk mengembangkan ide – ide baru memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya menerima pandangan dari orang lain tanpa berusaha untuk mengembangkannya karena hanya terpaku pada ide yang ada di dalam kasus.
e)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan memperoleh skor sebesar 58% masuk dalam cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghubungkan antar konsep tanpa menjelaskannya.
f)    Aspek kemampuan mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati memperoleh skor sebesar 57% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa kurang memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dosen dengan sesekali berbicara dengan teman.
g)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam berfikiran terbuka memperoleh skor sebesar 55% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa berdebat dengan teman lain karena mempertahankan pendapatnya.
h)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam berbicara dengan bebas memperoleh skor sebesar 65% masuk dalam kategori  kritis, yang artinya mahasiswa mau mengungkapkan pendapatnya karena terpaksa ditunjuk oleh dosen.
i)    Aspek kemampuan mahasiswa dalam bersikap sopan memperoleh skor sebesar 64% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata sopan baik pada dosen maupun siswa lain.
j)    Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah ada memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa memberikan solusi pemecahan masalah mengikuti argumentasi yang ada didalam kasus.
k)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh memperoleh skor sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa salah dalam memberikan alasan dan contoh karena hanya pemikiran mereka sendiri tanpa dikaitkan dengan teori yang ada.
l)    Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta klarifikasi memperoleh skor sebesar 56% masuk kateogori cukup kritis, yang artinya saat diskusi, mahasiswa meminta jawaban kepada dosen tentang solusi pemecahan masalah.
m) Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi memperoleh skor sebesar 57% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa hanya sekedar bertanya namun tidak menindaklanjuti apa yang disarankan dosen.
n)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam berusaha untuk memahami memperoleh skor sebesar 56% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa bersama kelompok tidak berusaha untuk mengerjakan namun hanya menunggu jawaban dari kelompok lain.
o)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi memperoleh skor sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya hanya memberikan kesimpulan dari apa yang ada di dalam kasus.
p)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi memperoleh skor sebesar 65% masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu menilai keputusan yang telah diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat.
q)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi memperoleh skor sebesar 60%  masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa salah dalam memberikan penjelasan atas penilaian yang diberikan.
Berdasarkan skor rata-rata pada siklus I ini, penelitian ini masih memerlukan tindakan yang lebih baik lagi karena skor kemampuan berfikir kritis mahasiswa masih jauh dari indicator yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 75% sehingga perlu diadakan penelitian siklus II untuk memperbaiki tingkat berfikir kritis dan mencapai indicator keberhasilan. Rata-rata kriteria berfikir kritis mahasiswa dapat dibuktikan pada table berikut :
            Tabel 3.5 Rata-rata Tingkat Befikir Kritis  Mahasiswa Siklus I
Indikator
Skor rata-rata (%)
Rata-rata
A
Ketrampilan Menganalisis
58
58,4%
(Kategori Cukup Kritis)
B
Ketrampilan Mensintesis
59
C
KetrampilanMengenali dan Memecahkan Masalah
56
D
Ketrampilan Menyimpulkan
56
E
Ketrampilan Mengevaluasi
63
           
            Data tabel 3.5 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berfikir kritis mahasiswa PAP 2012 pada siklus I tergolong dalam kategori cukup kritis pada pembelajaran Ilmu Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut terbukti pada skor yang dicapai sebesar  58,4 %  atau  dalam rentang skor 43%-62%.         

Hasil Ketrampilan Berfikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah siklus II.
Tabel 3.6  Hasil Observasi Berfikir Kritis Mahasiswa Siklus 2
Indikator/Aspek yang diamati
Jumlah
Skor
Kriteria
A
KETRAMPILAN MENGANALISIS

Menghubungkan masalah khusus yang menjadi subyek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum
75%
Kritis

Menanyakan pertanyaan yang relevan
83%
SangatKritis

Meminta elaborasi
84%
SangatKritis

Rata-rata A
80%
Kritis
B
KETERAMPILAN MENSINTESIS

Menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk mengembangkan ide-ide baru.
73%
Kritis

Mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan
75%
Kritis

Mendengarkan dengan hati-hati
78%
Kritis

Berfikiran terbuka
80%
Kritis

Berbicara dengan bebas
84%
SangatKritis

Bersikap sopan
88%
SangatKritis

Rata-rata B
80%
Kritis
C
KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKAN MASALAH

Memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah ada.
80%
SangatKritis

Menghadapi tantangan dengan alas an dan contoh
89%
SangatKritis

Meminta klarifikasi
86%
SangatKritis

Menanyakan sumber informasi
77%
Kritis

Rata-rata C
85%
SangatKritis
D
KETERAMPILAN MENYIMPULKAN

Berusaha untuk memahami
73%
Kritis

Memberikan ide dan pilihan yang bervariasi
68%
Kritis

Rata-rata D
71%
Kritis
E
KETERAMPILAN MENGEVALUASI ATAU MENILAI

Mampu mengerjakan soal evaluasi
85%
SangatKritis

Mampu menganalisis soal evaluasi
81%
Kritis

Rata-rata E
83%
Kritis
Rata-rata berfikir kritis
80%
Kritis
      Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 3.6 rata-rata kriteria berpikir kritis mahasiswa per indikator mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus II. Hal tersebut terbukti dari :
a)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63% meningkat 12% menjadi 75% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya sesuai materi dalam Ilmu Komunikasi.
b)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan pada siklus I memperoleh skor sebesar 5% meningkat 26% pada siklus II menjadi 83% masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengajukan pertanyaan sesuai topik yang jawabannya merupakan pengembangan dari apa yang ada di kasus.
c)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta eloborasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 29% pada siklus II menjadi 84% masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu secara sukarela mengajukan diri untuk membacakan hasil diskusi di depan kelas.
d)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk mengembangkan ide –ide baru pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 17% pada siklus II menjadi 73% masuk dalam kritis, yang artinya mahasiswa mau menerima pandangan dari orang lain serta mengembangkannya dengan konsep yang diperoleh dengan tepat.
e)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan pada siklus I memperoleh skor sebesar 58% meningkat 17% pada siklus II menjadi 75% masuk dalam kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam menjelaskan hubungan antar konsep karena tidak mengetahui konsepnya.
f)       Aspek kemampuan mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati pada siklus I memperoleh skor sebesar 57% meningkat 21% menjadi 78% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dosen tanpa menulis apapun.
g)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam berfikiran terbuka pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 25% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghormati pendapat teman lain yang sama dengan jawabannya.
h)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam berbicara dengan bebas pada siklus I memperoleh skor sebesar 65% meningkat 19% menjadi 84% pada siklus II masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa dengan berani mau menyampaikan pendapatnya dan menjawab pertanyaan yang diberikan dosen.
i)       Aspek kemampuan mahasiswa dalam bersikap sopan pada siklus I memperoleh skor sebesar 64% meningkat 24% menjadi 88% pada  siklus II masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata sopan baik pada dosen maupun mahasiswa lain.
j)       Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah ada pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 24% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan solusi pemecahan masalah namun pendapatnya berbeda dari apa yang ada di kasus.
k)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 34% menjadi 89% pada siklus II masuk kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa hanya memberikan alasan namun tidak memberikan contoh untuk menguatkan alasan.
l)       Aspek kemampuan mahasiswa dalam meminta klarifikasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 30% menjadi 86% pada siklus II masuk kateogori sangat kritis, yang artinya mahasiswa meminta penjelasan kepada mahasiswa lain.
m)   Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 57% meningkat 20% menjadi 77% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang lengkap dalam menanyakan sumber informasi sehingga terkadang menemui kendala dalam pengerjaan.
n)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam berusaha untuk memahami pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 17% menjadi 73% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa bersama kelompok hanya mencermati kasus yang tersedia dan menanyakan kepada dosen jika menemui kesulitan.
o)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 55% meningkat 13% menjadi 68% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan kesimpulan karena penjelasannya tidak sesuai dengan teori yang ada.
p)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 65% meningkat 20% menjadi 85% masuk kategori sangat kritis, yang artinya siswa mampu menilai keputusan yang telah diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat.
q)      Aspek kemampuan mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 60% meningkat 21% menjadi 81% pada siklus II masuk kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan penjelasan atas penilaian yang yang telah diberikan. Rata–rata kriteria kemampuan berpikir kritis mahasiswa pada siklus II meningkat 21,4% menjadi 79,8% yang mengidentifikasikan bahwa rata–rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa mata kuliah Ilmu Komunikasi pada kompetensi dasar factor-faktor komunikasi dalam pendidikan menggunakan model pembelajaran berbsasis masalah termasuk dalam kategori kritis dan sudah memenuhi indicator keberhasilan 75%.  Hal tersebut dapat dilihat pada table berikut ini :
            Tabel 3.7 Kategori Tingkat Berfikir Kritis Mahasiswa Siklus II
Indikator
Skor rata-rata (%)
Rata-rata
A
Ketrampilan Menganalisis
80
80%
(Kategori Kritis)
B
Ketrampilan Mensintesis
80
C
Ketrampilan Mengenali dan Memecahkan Masalah
85
D
Ketrampilan Menyimpulkan
71
E
Ketrampilan Mengevaluasi
83
           
            Data tabel 3.7 menunjukkan bahwa tingkat kemampuan berfikir kritis mahasiswa PAP 2012 pada siklus II tergolong dalam kategori  kritis pada pembelajaran Ilmu Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut terbukti pada skor yang dicapai sebesar  80 %  atau  dalam rentang skor 63%-80%.

B. PEMBAHASAN
1.   Aktivitas  dosen melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
            Penerapan model pembelajaran berbasis masalah  tidak terlepas dari RPS meliputi dua komponen yaitu Pengelolaan KBM yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup dan suasana kelas yang meliputi antusiasme mahasiswa, dan antusiasme dosen, pengelolaan waktu, dan kesesuaian KBM  yang telah dirancang. Pada Siklus I pengelolaan dosen dalam menerapkan metode pembelajaran berbasis masalah masih tergolong baik. Namun  ada  5 indikator  yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen yang memiliki nilai cukup baik. Pada  kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok  dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social. Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi.
            Pada kegiatan pendahuluan indicator mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok memiliki nilai yang cukup baik dikarenakan suasana di dalam kelas menjadi cukup aktif ketika dosen meminta mahasiswa untuk mencari pemecahan kasus yang telah disampaikan. Pada kegiatan pendahuluan,indikator yang memiliki nilai cukup baik berikutnya mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keterampilan social kepada mahasiswa. Mahasiswa kurang memahami apa yang sudah dijelaskan dosen tentang  tujuan pembelajaran memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan karena dosen kurang memanfaatkan sumber belajar yang terkait dengan materi proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan dan hanya berceramah sehingga mahasiswa sedikit sekali mendapatkan pengetahuan seputar masalah konkrit komunikasi dalam pendidikan, sehingga mahasiswa kurang berinteraksi dalam pembelajaran.
            Pada kegiatan inti, indicator memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat juga memiliki nilai cukup baik dikarenakan dosen masih membimbing mahasiswa dalam memecahkan masalah sekaligus mengembangkan media pembelajaran yag berbeda dengan kelompok lain ketika akan mempresentasikan hasil kerja  kelompoknya, dan belum semuanya bisa menyajikan hasil diskusi dengan media inovatif pembelajaran. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Dosen kurang memanfaatkan waktu dengan baik dikarenakan pada saat berdiskusi dosen sering membantu mahasiswa saat asyik berdiskusi dengan kelompoknya sehingga dosen dalam menjelaskan materi terkesan terlalu cepat. Dari kelima kekurangan tersebut maka dosen melakukan refleksi pada siklus II. Disisi lain, tahap aktivitas dosen yang paling dominan dalam penelitian ini adalah tahap penilaian posttest. Pada tahap ini pengamat memberikan nilai tinggi karena peneliti begitu disiplin dalam mengawasi penilaian posttest. Selain itu dalam mengawasi mahasiswa, peneliti juga dibantu oleh pengamat yang juga berada di dalam kelas. Jadi mahasiswa menjadi tertib dan mengerjakan soal sendiri ketika menjalani penilaian postest.
            Pengelolaan dosen dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah ini pada siklus II dapat dikategorikan baik. Karena pada tahap pendahuluan sudah dapat ditangani dengan baik oleh dosen dengan menggunakan sumber belajar berupa video tentang komunikasi dalam pendidikan. Tujuannya untuk menggali wawasan mahasiswa dan pengalaman mereka ketika proses belajar mengajar di kelas. Dan terbukti mahasiswa termotivasi belajar dan terampil dalam mengenal dan memecahkan masalah bahkan bisa menyimpulkan dan mengevaluasi soal kasus yang diberikan oleh dosen dan  jika ada materi  yang kurang dipahami oleh mahasiswa, mereka berani bertanya jika ada hal-hal yang kurang dimengerti dalam pertanyaan latihan  kasus. Hal ini merupakan pertanda bahwa terdapat peningkatan dari siklus I ke siklus II. Refleksi yang dilakukan pada siklus I yaitu dosen harus mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok  dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social, memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan, menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir adalah waktu sesuai dengan alokasi.
            Hal ini membuktikan bahwa hasil penelitian ini mendukung teori dari (M. Taufiq Amir, 2010:21) bahwa PBL mempersiapkan peserta didik untuk berfikir kritis dan analistis dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Selanjutnya hasil penelitian ini didukung oleh Norris dan Ennis dalam Bahriah (2011) menyatakan berpikir kritis sebagai berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Nur (1998) yang menyatakan bahwa salah satu factor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang disertai dengan komitmen yang tinggi untuk menggunakannya dalam setiap pembelajaran. Terlaksananya kegiatan belajar mengajar dengan baik karena dosen dalam proses pembelajaran memiliki komitmen yang tinggi untuk menggunakan perangkat pembelajaran. Suatu program pembelajaran akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan apabila direncanakan dengan baik, semua komponen pengajaran harus diperankan secara optimal.
            Hal ini sesuai dengan pendapatnya Sagala (2003) yang mengatakan bahwa  semua komponen pengajaran harus diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilaksanakan. Agar proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik maka, dosen harus merancang pembelajaran yang akan dilaksanakan terutama untuk menentukan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan dan membuat indicator untuk mengetahui apakah pembelajaran yang telah dirancang dapat berjalan dengan efektif atau tidak.
             Pembelajaran yang dirancang oleh dosen hendaknya melibatkan mahasiswa secara penuh agar mahasiswa dapat mengembangkan potensinya dengan maksimal. Dosen dituntut memiliki kemampuan untuk melibatkan peserta didik secara aktif selama pembelajaran dan menciptakan suasana yang menunjang agar tercapai tujuan pembelajaran, yang sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya (Ratumanan, 2004). Hal senada diungkapkan pula oleh Karlimah. (2010) dalam penelitiannya tentang hasil penelitian disarankan supaya guru dalam pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning-PBL) perlu dikembangkan oleh dosen agar mahasiswa dapat belajar secara kontekstual ke taraf berpikir tingkat tinggi sehingga hasil belajar yang diperoleh meningkat.
2.   Hasil Ketrampilan Berfikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah
            Pembahasan dalam penelitian tindakan kelas ini didasarkan atas hasil pengamatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang dilanjutkan dengan kegiatan refleksi atau kegiatan untuk mengemukakan kembali kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berdasarkan hasil penelitian pada siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran Ilmu Komunikasi pada kompetensi dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah mengalami peningkatan dari segi ketrampilan berfikir kritis.
            Hasil penelitian dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah mempunyai pengaruh positif terhadap kemampuan berfikir kritis mahasiswa. Hal ini terbukti bahwa rata-rat berfikir kritis mahasiswa pada siklus I sebesar 58,4% termasuk dalam kategori cukup kritis. Pada siklus II rata-rata berfikir kritis mahasiswa mengalami peningkatan 79,8% termasuk kategori kritis.
            PBL mempersiapkan peserta didik untuk berfikir kritis dan anlistis dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Permasalahan yang diajukan membutuhkan kemampuan siswa untuk     mengeksplorasi berbagai sumber belajar untuk mengumpulkan bukti, fakta,dan data yang berhubungan dengan hipotesis yang diajukan. Pada hakikatnya program pembelajaran bertujuan tidak hanya memahami dan menguasai apa dan bagaimana suatu terjadi tetapi juga memberi pemahaman dan penguasaan tentang mengapa hal itu terjadi. Berpijak pada permasalahan tersebut, maka pembelajaran pemecahan masalah menjadi sangat penting untuk diajarkan (Made Wena, 2009:52).



IV.    PENUTUP
A.    SIMPULAN
            Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah disajikan dalam Bab IV, maka dapat ditarik simpulan bahwa penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis (1) Aktivitas dosen melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah kompetensi dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi dalam pendidikan mengalami peningkatan dari siklus 1 terdapat 5 indikator  yang harus diperbaiki yaitu mengorientasi masalah yang akan di cari pemecahannya secara berkelompok, mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, prilaku berkarakter dan ketrampilan social, memecahkan masalah yang telah dipilih, mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat, waktu sesuai dengan alokasi. Dan meningkat pada siklus 2 dengan kategori semua indicator keberhasilan pelaksanaan aktivitas dosen nilainya baik dengan kategori  sangat baik dan pelaksanaannya sesuai dengan rencana pelaksanaan semester. (2) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada  mata kuliah Ilmu Komunikasi bagi mahasiswa PAP 2012 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata berpikir kritis mahasiswa pada pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus I  sebesar 58,4% Mengalami peningkatan sampai dengan siklus II sebesar 80% sudah  mencapai indikator keberhasilan.
B.     SARAN
            Beberapa saran sebagai salah satu solusi alternatif yang ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah  adalah masalah appersepsi yang kurang sehingga diperlukan kontrol dan persiapan RPS dan LKM yang lebih baik dari dosen, dengan cara mencari dan menggunakan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan.(2) Pembelajaran Ilmu Komunikasi khususnya pada Kompetensi Dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan sebaiknya dosen membuat contoh kasus yang fenomenal terjadi di masyarakat contoh gambar / video proses komunikasi pendidikan yang lebih konkrit dengan menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.

UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Susanti,S.Ak,M.Pd dan Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd atas arahan dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Amir,M.Taufik.(2009).Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning.Jakarta:        Kencana.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta          : Rineka Cipta

Bahriah E.P.(2011). Indikator Berpikir Kritis dan Kreatif. On line at           http://www.berpikir kritis/internet kritis/indikator berpikir kritis dan kreatif       «          evisapinatulbahriah.htm.10 November 2014.(15:23)
Fisher, Alec. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga
Karlimah. (2010). Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan PGSD FIP Universitas Pendidikan Indonesia. 11(2) : 51-60
Kunandar. (2008). Langkah Mudah penelitian Tindakan Kelas sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Nur,Mohamad.(1998).Teori-teori Perkembangan Kognitif. Surabaya:UNESA-PSMS
Ratumanan,G.t.danLauren,S.(2004).Evaluasi Hasil Belajar.Surabaya:UnesaUniversityPress
Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta      : Kencana Prenada Media
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003   Sistem Pendidikan Nasional.
Wena,Made.(2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta : Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar