Siti
Sri Wulandari
Universitas Negeri Surabaya
wulan.unesa@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian
ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran dengan pendekatan Problem Based
Learning yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa
Pendidikan Administrasi Perkantoran. Penerapan Problem Based Learning mampu
mengembangkan pemahaman konseptual dan inovasi mahasiswa sebagai bekal
mahasiswa di masa depan, sehingga mahasiswa mampu menganalisis dan melahirkan
alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penelitian yang
digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas. Analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Rata-rata nilai keberhasilan
dari data aktivitas dosen dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada
siklus I sebesar 5.11 dan siklus II sebesar 5.88. Untuk rata-rata nilai
keberhasilan dari kemampuan berfikir
kritis mahasiswa dalam setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 58,4 meningkat 21,4
pada siklus II menjadi 80 dari kategori cukup kritis meningkat menjadi kategori
kritis.Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah sebagai alternatif pembelajaran dalam
meningkatkan kemampuan berfikir kritis mahasiswa.
Kata kunci: Pembelajaran, Problem Based Learning,
Berfikir kritis.
ABSTRACT
This study describes the application of learning with Problem Based Learning approach which can improve students' critical thinking skills Education Office Administration. Application of Problem Based Learning is able to develop conceptual understanding and innovation of students as a preparation to students in the future, so that students are able to analyze and give birth to alternative solutions to problems in everyday life. This type of research is a classroom action research. The analysis used in this study is a qualitative descriptive analysis. The average value of the success of faculty activity data in each cycle is increased in the first cycle of 5.11 and the second cycle of 5.88. For the average value of the success of the critical thinking skills of students in each cycle is increased in the first cycle of 58.4 increased 21.4 in the second cycle to 80 of categories is critical to increase to critical category. Based on these results suggested implementing problem-based learning model as an alternative to learning to improve students' critical thinking skills.
This study describes the application of learning with Problem Based Learning approach which can improve students' critical thinking skills Education Office Administration. Application of Problem Based Learning is able to develop conceptual understanding and innovation of students as a preparation to students in the future, so that students are able to analyze and give birth to alternative solutions to problems in everyday life. This type of research is a classroom action research. The analysis used in this study is a qualitative descriptive analysis. The average value of the success of faculty activity data in each cycle is increased in the first cycle of 5.11 and the second cycle of 5.88. For the average value of the success of the critical thinking skills of students in each cycle is increased in the first cycle of 58.4 increased 21.4 in the second cycle to 80 of categories is critical to increase to critical category. Based on these results suggested implementing problem-based learning model as an alternative to learning to improve students' critical thinking skills.
Keywords
: Learning , Problem Based Learning , Critical Thinking
I. PENDAHULUAN
Setiap manusia memiliki keinginan
berhasil didalam hidupnya, salah satu keberhasilan itu dapat berupa bidang
pendidikan. Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan
bangsa dan negara. Hal ini karena pendidikan merupakan proses budaya yang
bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan itu
sendiri berlaku seumur hidup dan dilakukan dalam lingkungan, keluarga,
pendidikan formal (sekolah) dan masyarakat. Untuk itu, pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Negara. Menurut
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional pasal 1 menyebutkan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Proses pendidikan yang terencana
untuk mewujudkan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan. Pendidikan
juga harus berorientasi pada peserta didik dan peserta didik harus dipandang
sebagai seorang yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Tugas pendidik
adalah mengembangkan potensi yang dimiliki mahasiswa. Berdasarkan pengamatan,
diperoleh fakta bahwa dosen dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa masih
menggunakan metode ceramah, cara mengajar yang digunakan dalam
menyampaikan informasi tentang suatu
pokok permasalahan secara lisan. Meskipun telah menerapkan diskusi kelas yang
bersifat tradisional tanpa disertai contoh penerapan dalam kehidupan nyata
sehingga mahasiswa dikelas menjadi pasif, bahkan ada mahasiswa yang bosan
dikarenakan hanya mendengarkan dan terpaku pada apa yang dikatakan oleh dosen dan
sesekali mencatat, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna. Kegiatan
pembelajaran yang dimaksud adalah proses belajar mengajar pada mata kuliah ilmu
komunikasi.
Oleh karena itu, karakteristik
pembelajaran standar kompetensi memahami dan mengimplementasikan ilmu
komunikasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran mulai dari tahap dasar
sampai dengan evaluasi menghendaki pemahaman
tidak hanya pada persoalan-persoalan substansi atau muatan akademik semata,
akan tetapi juga menuntut adanya kemampuan interaksi sosial dari mahasiswa.
Kompetensi dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam pendidikan cukup erat
dengan realitas persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kemampuan
berfikir kritis diperlukan dalam pembelajaran pada mata kuliah Ilmu Komunikasi,
terutama dalam Kompetesi Dasar memahami faktor-faktor komunikasi dalam
pendidikan. Sesuai dengan tujuan pembelajaran Berbasis Masalah yaitu membantu
siswa mengembangkan kemampuan berfikir, memecahkan masalah, dan ketrampilan
intelektual, maka siswa dituntut memiliki kemampuan berfikir kritis. Melalui
pembelajaran Ilmu Komunikasi diharapkan mahasiswa mampu menganalisis dan
melahirkan alternatif pemecahan masalah.
Menurut La
Costa dalam Sanjaya (2006:105) mengklasifikasikan berpikir menjadi tiga yaitu teaching of thinking, teaching for
thingking, dan teaching about thinking. Kemampuan berpikir kritis dapat
meningkatkan partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan,
membuat makna, mencari kejelasan, berpikir kritis, dan mengadakan justifikasi. Oleh
karena itu, adanya keterampilan berpikir kritis diharapkan mahasiswa tak hanya
memahami fakta sebatas hafalan tetapi juga dapat merasa bahwa fakta-fakta atau
masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat yang disampaikan oleh dosen
berada di sekitar kehidupan sehari-hari mereka. Berdasarkan uraian latar
belakang di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan (1) Penerapan
model pembelajaran Problem Based Learning dalam mata kuliah Ilmu Komunikasi (2)
Pembelajaran Berbasis Masalah mampu
membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan berfikir kritis
memecahkan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.
II. METODE
Jenis penelitian ini adalah
Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) . Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran
angkatan 2012 berjumlah 32. Lokasi dalam penelitian ini di Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Surabaya. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan instrument non tes. Analisis
data menggunakan deskriptif,
tabel, persentase. Untuk menganalisis hasil penilaian yang diberikan oleh pengamat
terhadap kemampuan dosen dalam mengelola pembelajaran dengan cara menghitung
rata-rata skor penilaian oleh dua orang pengamat menggunakan interval skor 1
sampai dengan 4, dengan ketentuan kriteria sebagai berikut:
1 = tidak baik 3 = baik
2 = kurang baik 4
= sangat baik
Selanjutnya
rata-rata di atas akan dikonversi menggunakan ketentuan sebagai berikut :
1.00 − 1.50 = Tidak baik/
tidak terlaksana
1.50 − 2.49 = kurang
baik/ terlaksana dengan kurang baik
2.50 – 3.49 = cukup baik/
terlaksana dengan cukup baik
3.50 – 4.49 = baik/
terlaksana dengan baik
4.50 – 5.50 = baik
sekali/ terlaksana dengan sangat baik (Kunandar, 2008:235)
Untuk menganalisis hasil
tes kemampuan berpikir kritis diperiksa dan diberi skor. Pemberian skor
disesuaikan dengan skor maksimal per butir soal. Mengubah skor kualitatif
menjadi skor kuantitatif, yakni mengubah opsi yang diperoleh dari lembar
observasi dalam bentuk angka atau nilai. Penilaian ini menggunakan skala likert
yakni dengan menggunakan 4 opsi yaitu: (1) Sangat Kritis : skor 4. (2) Kritis:
skor 3 (3) Cukup Kritis : skor 2 (1) Kurang Kritis: skor 1 (Arikunto,
2010:146). Selanjutnya dihitung persentase penguasaan tes kemampuan berpikir
kritis dengan rumus :
P = n x 100 %
N
Keterangan:
P = persentase kemampuan berpikir
kritis
n = jumlah skor yang diperoleh
N = jumlah skor maksimal yang
diharapkan
Tabel 2.1 : Kriteria Berfikir Kritis Mahasiswa
No
|
Rentang Skor
|
Kriteria
|
1
|
81-100%
|
Sangat
Kritis
|
2
|
63-80%
|
Kritis
|
3
|
43-62%
|
Cukup
Kritis
|
4
|
25-42%
|
Kurang
Kritis
|
Pada tahap penelitian tindakan
terdiri dari beberapa siklus, tiap
siklus melalui 4 tahap yaitu perencanaan (planning), tindakan (Action),
pengamatan (Observation), dan refleksi (Reflective). Pelaksanaan pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua kali putaran dan tiap putaran
pada penelitian ini mengkuti alur rancangan penelitian tindakan. Garis besar
penelitian disusun sesuai rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) dalam
bentuk bagan seperti yang digambarkan sebagai berikut:
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
|
Sumber
: Suharsimi Arikunto (2010)
Gambar
2.1 : Alur Penelitian Tindakan Kelas
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
Aktivitas Dosen dalam menerapkan
model pembelajaran berbasis masalah pada
siklus I. Tabel
3.1 Aktivitas Dosen Pada Siklus I
No
|
Aspek yang diamati
|
Pengamat
|
Total
|
Kategori
|
|
I
|
PENGAMATAN KBM
|
P1
|
P2
|
Skor
|
|
|
A.
PENDAHULUAN
|
||||
1. Membimbing
berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
2. Memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk menggali informasi.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
3. Mengorientasikan
masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok.
|
3
|
3
|
3
|
Cukup Baik
|
|
4. Mengkomunikasikan
tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan
keteramplan social.
|
3
|
3
|
3
|
Cukup Baik
|
|
B.
KEGIATAN INTI
|
|||||
5.Mengorganisasi
mahasiswa untuk belajar dengan cara memberikan LKM.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
6.Mengungkapkan
hal-hal yang tidak dimengerti dalam LKM serta membantu temannya yang
kesulitan
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
7.Memecahkan
masalah yang telah dipilih
|
3
|
3
|
3
|
Cukup Baik
|
|
8.Melakukan
penyelidikan setahap demi setahap diawali dari perumusan masalah.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
9. Merumuskan
hipotesis atas rumusan masalah yang telah dibuat
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
10.Menguji
hipotesis yang sudah dirumuskan
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
11.Mengembangkan
dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat.
|
3
|
3
|
3
|
Cukup Baik
|
|
12.Menyajikan
hasil diskusi dengan penuh tanggung jawab
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
C.
KEGIATAN PENUTUP
|
|||||
13. Bersama-sama
menganalisis dan evaluasi pemecahan masalah
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
II
|
SUASANA KELAS
|
||||
|
14. Siswa Antusias
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
15. Guru Antusias
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
|
16. Waktu sesuai dengan alokasi
|
3
|
3
|
3
|
Cukup Baik
|
|
17. KBM sesuai dengan RPS
|
3
|
4
|
3.5
|
Baik
|
|
Jumlah skor yang didapat
|
3.68
|
Baik
|
|||
Nilai
|
5.11
|
Baik Sekali
|
Berdasarkan tabel 3.1 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan pengamatan
menunjukkan jumlah skor yang didapat 3.68. Jumlah skor tersebut diperoleh dari
penilaian terhadap 17 komponen pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan model
pembelajaran dapat dihitung dengan rumus :
Nilai
= Skor yang didapat X 100
Skor Maksimum
Nilai
= 3.68 X 100
68
= 5.11
Berdasarkan criteria keberhasilan maka nilai 5.11 pada aktivitas
dosen pada siklus I dapat dikategorikan
baik. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada siklus I ada 5 indikator yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen
yang memiliki nilai cukup baik. Pada
kegiatan pendahuluan terdapat 2 indicator yaitu mengorientasikan masalah
yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan
pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan
social . Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2 indikator yaitu memecahkan
masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang
telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada 1 indikator
yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Kekurangan-kekurangan dalam aktivitas guru
pada siklus ke I diharapkan dapat diperbaiki pada kegiatan siklus ke II.
Aktivitas Dosen dalam menerapkan
model pembelajaran berbasis masalah pada
siklus II. Tabel
3.2 Aktivitas Dosen Pada Siklus II
No
|
Aspek yang diamati
|
Pengamat
|
Total
|
Kategori
|
||
I
|
PENGAMATAN KBM
|
P1
|
P2
|
Skor
|
||
|
A.
PENDAHULUAN
|
|||||
1.
Membimbing berdo’a sesuai dengan agama dan keyakinan
masing-masing.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
2.
Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
menggali informasi.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
3.
Mengorientasikan masalah yang akan dicari
pemecahannya secara berkelompok.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
4.
Mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk,
proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan social.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
B.
KEGIATAN INTI
|
||||||
5.
Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar dengan cara
memberikan LKM.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
6.
Mengungkapkan hal-hal yang tidak dimengerti dalam
LKM serta membantu temannya yang kesulitan
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
7.
Memecahkan masalah yang telah dipilih
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
8.
Melakukan penyelidikan setahap demi setahap diawali
dari perumusan masalah.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
9.
Merumuskan hipotesis atas rumusan masalah yang telah
dibuat
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
10. Menguji
hipotesis yang sudah dirumuskan
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
11. Mengembangkan
dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat.
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
12. Menyajikan hasil
diskusi dengan penuh tanggung jawab
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
C.
KEGIATAN PENUTUP
|
||||||
13. Bersama-sama
menganalisis dan evaluasi pemecahan masalah
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
II
|
SUASANA KELAS
|
|||||
14. Siswa
Antusias
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
15. Guru
Antusias
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
16. Waktu
sesuai dengan alokasi
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
17. KBM
sesuai dengan RPS
|
4
|
4
|
4
|
Baik
|
||
Jumlah skor yang didapat
|
4.00
|
Baik
|
||||
Persentase
|
5.88
|
Baik Sekali
|
||||
Pada siklus II pada tabel 3.2 dapat disimpulkan bahwa aktivitas dosen berdasarkan pengamatan dari 2
orang pengamat menunjukkan jumlah skor yang didapat 4.00. Jumlah skor tersebut
diperoleh dari penilaian terhadap 17 Komponen pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Keberhasilan pelaksanaan
model pembelajaran dapat dihitung melalui rumus :
Nilai
= Skor yang didapat X 100
Skor Maksimum
Nilai
= 4.00 X 100
68
= 5.88
Pada siklus II aktivitas dosen sudah diperbaiki melalui refleksi
dari siklus II yaitu pada kegiatan pendahuluan terdapat yaitu mengorientasikan
masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok dan mengkomunikasikan
tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan
keteramplan social . Pada kegiatan inti indicator memecahkan masalah yang telah
dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat.
Sedangkan pada suasana kelas indicator waktu sesuai dengan alokasi. Pada
pelaksanaan pembelajaran siklus II ini mengalami peningkatan dibandingkan
siklus I yang memiliki 5 indikator berkategori cukup baik. Dengan demikian
aktivitas dosen pada siklus II ini dapat dikategorikan baik sekali pada 17 komponen dengan nilai keberhasilan sangat
baik atau pembelajaran terlaksana dengan sangat baik.
Rata-rata
aktivitas dosen dalam
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus II disajikan dalam tabel 3.3
dibawah ini.
Tabel
3.3 Rata-rata Aktivitas Dosen
KBM
|
Siklus 1
|
Siklus 2
|
Rata-rata
|
Kategori
|
Skor yang didapat
|
3.68
|
4
|
3.84
|
Baik
|
Nilai Aktivitas Dosen
|
5.11
|
5.88
|
5.5
|
Baik Sekali
|
Pada tabel 3.3 dapat disimpulkan
bahwa rata-rata nilai keberhasilan dari data aktivitas dosen adalah dalam
setiap siklusnya mengalami kenaikan yaitu pada siklus I sebesar 5.11 dan siklus
II sebesar 5.88. Karena data aktivitas dosen telah mengalami kenaikan sampai
kategori sangat baik maka RPS yang
dibuat pada penelitian ini, sudah terlaksana dengan sangat baik pada siklus ke
II.
Hasil
Ketrampilan Berfikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah siklus I.
Tabel 3.4 Hasil Observasi Berfikir Kritis Mahasiswa Per
Indicator dan Per Aspek
Indikator/Aspek
yang diamati
|
Jumlah
|
||
Skor
|
Kriteria
|
||
A
|
KETRAMPILAN MENGANALISIS
|
|
|
|
Menghubungkan masalah khusus yang menjad
subyek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum
|
63%
|
Kritis
|
|
Menanyakan pertanyaan yang relevan
|
57%
|
Cukup
Kritis
|
|
Meminta elaborasi
|
55%
|
Cukup
Kritis
|
|
Rata-rata A
|
58%
|
Cukup
Kritis
|
B
|
KETERAMPILAN MENSINTESIS
|
|
|
|
Menerima pandangan dan saran dari orang
lain untuk mengembangkan ide-ide baru.
|
56%
|
Cukup
Kritis
|
|
Mencari dan menghubungkan antara masalah
yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan
|
58%
|
Cukup
Kritis
|
|
Mendengarkan dengan hati-hati
|
57%
|
Cukup Kritis
|
|
Berfikiran terbuka
|
55%
|
Cukup Kritis
|
|
Berbicara dengan bebas
|
65%
|
Cukup Kritis
|
|
Bersikap sopan
|
64%
|
Cukup Kritis
|
|
Rata-rata B
|
59%
|
Cukup Kritis
|
C
|
KETERAMPILAN MENGENAL DAN MEMECAHKAN
MASALAH
|
|
|
|
Memberi contoh atau argumentasi yang
berbeda dari yang sudah ada.
|
56%
|
Cukup Kritis
|
|
Menghadapi tantangan dengan alasan dan
contoh
|
55%
|
Cukup Kritis
|
|
Meminta klarifikasi
|
56%
|
Cukup Kritis
|
|
Menanyakan sumber informasi5
|
57%
|
Cukup Kritis
|
|
Rata-rata C
|
56%
|
Cukup Kritis
|
D
|
KETERAMPILAN MENYIMPULKAN
|
|
|
|
Berusaha untuk memahami
|
56%
|
Cukup Kritis
|
|
Memberikan ide dan pilihan yang
bervariasi
|
55%
|
Cukup Kritis
|
|
Rata-rata D
|
56%
|
Cukup Kritis
|
E
|
KETERAMPILAN MENGEVALUASI
|
|
|
|
Mampu mengerjakan soal evaluasi
|
65%
|
Kritis
|
|
Mampu menganalisis soal evaluasi
|
60%
|
Cukup Kritis
|
|
Rata-rata E
|
63%
|
Kritis
|
Rata-rata
berfikir kritis
|
58,4%
|
|
Berdasarkan data lembar observasi pada tabel 3.4 dapat diketahui
bahwa :
a)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi dengan
prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63% masuk dalam kategori
kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi permasalahan dengan
lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya sesuai materi dalam Ilmu
Komunikasi.
b)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan memperoleh skor sebesar 57%
masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa mengajukan pertanyaan
dan sedikit menyimpang dari topik.
c)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam meminta eloborasi memperoleh skor sebesar 55% masuk dalam
kategori cukup kritis, yang artinya Jika di dalam kelompok yang telah ditunjuk
untuk membacakan hasil diskusi, mahasiswa saling melemparkan tanggung jawab
untuk maju di depan kelas.
d)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk
mengembangkan ide – ide baru memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam cukup
kritis, yang artinya mahasiswa hanya menerima pandangan dari orang lain tanpa
berusaha untuk mengembangkannya karena hanya terpaku pada ide yang ada di dalam
kasus.
e)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan
dengan masalah lain yang relevan memperoleh skor sebesar 58% masuk dalam cukup
kritis, yang artinya mahasiswa hanya menghubungkan antar konsep tanpa
menjelaskannya.
f)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati memperoleh skor sebesar 57%
masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa kurang memperhatikan
dan mendengarkan penjelasan dosen dengan sesekali berbicara dengan teman.
g)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam berfikiran terbuka memperoleh skor sebesar 55% masuk dalam
kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa berdebat dengan teman lain karena
mempertahankan pendapatnya.
h)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam berbicara dengan bebas memperoleh skor sebesar 65% masuk dalam
kategori kritis, yang artinya mahasiswa
mau mengungkapkan pendapatnya karena terpaksa ditunjuk oleh dosen.
i)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam bersikap sopan memperoleh skor sebesar 64% masuk dalam kategori
kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan berkata sopan baik pada dosen
maupun siswa lain.
j)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah
ada memperoleh skor sebesar 56% masuk dalam kategori cukup kritis, yang artinya
mahasiswa memberikan solusi pemecahan masalah mengikuti argumentasi yang ada
didalam kasus.
k)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh memperoleh skor
sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa salah dalam
memberikan alasan dan contoh karena hanya pemikiran mereka sendiri tanpa
dikaitkan dengan teori yang ada.
l)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam meminta klarifikasi memperoleh skor sebesar 56% masuk kateogori
cukup kritis, yang artinya saat diskusi, mahasiswa meminta jawaban kepada dosen
tentang solusi pemecahan masalah.
m) Aspek kemampuan mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi
memperoleh skor sebesar 57% masuk kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa
hanya sekedar bertanya namun tidak menindaklanjuti apa yang disarankan dosen.
n)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam berusaha untuk memahami memperoleh skor sebesar 56% masuk
kategori cukup kritis, yang artinya mahasiswa bersama kelompok tidak berusaha
untuk mengerjakan namun hanya menunggu jawaban dari kelompok lain.
o)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi memperoleh skor
sebesar 55% masuk kategori cukup kritis, yang artinya hanya memberikan
kesimpulan dari apa yang ada di dalam kasus.
p)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi memperoleh skor sebesar 65% masuk
kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu menilai keputusan yang telah
diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan dengan tepat.
q)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi memperoleh skor sebesar 60% masuk kategori cukup kritis, yang artinya
mahasiswa salah dalam memberikan penjelasan atas penilaian yang diberikan.
Berdasarkan skor
rata-rata pada siklus I ini, penelitian ini masih memerlukan tindakan yang
lebih baik lagi karena skor kemampuan berfikir kritis mahasiswa masih jauh dari
indicator yang ditetapkan dalam penelitian ini yaitu sebesar 75% sehingga perlu
diadakan penelitian siklus II untuk memperbaiki tingkat berfikir kritis dan
mencapai indicator keberhasilan.
Rata-rata kriteria berfikir kritis mahasiswa dapat
dibuktikan pada table berikut :
Tabel
3.5 Rata-rata Tingkat Befikir Kritis
Mahasiswa Siklus I
Indikator
|
Skor
rata-rata (%)
|
Rata-rata
|
|
A
|
Ketrampilan Menganalisis
|
58
|
58,4%
(Kategori
Cukup Kritis)
|
B
|
Ketrampilan Mensintesis
|
59
|
|
C
|
KetrampilanMengenali dan Memecahkan
Masalah
|
56
|
|
D
|
Ketrampilan Menyimpulkan
|
56
|
|
E
|
Ketrampilan Mengevaluasi
|
63
|
Data tabel 3.5 menunjukkan bahwa
tingkat kemampuan berfikir kritis mahasiswa PAP 2012 pada siklus I tergolong dalam kategori cukup kritis pada pembelajaran Ilmu Komunikasi dengan menggunakan
model pembelajaran berbasis masalah. Hal tersebut terbukti pada skor yang
dicapai sebesar 58,4 % atau
dalam rentang skor 43%-62%.
Hasil
Ketrampilan Berfikir Kritis Mahasiswa dalam menerapkan model pembelajaran
berbasis masalah siklus II.
Tabel 3.6 Hasil
Observasi Berfikir Kritis Mahasiswa Siklus 2
Indikator/Aspek
yang diamati
|
Jumlah
|
||
Skor
|
Kriteria
|
||
A
|
KETRAMPILAN
MENGANALISIS
|
||
|
Menghubungkan masalah khusus yang menjadi
subyek diskusi dengan prinsip yang bersifat umum
|
75%
|
Kritis
|
|
Menanyakan pertanyaan yang relevan
|
83%
|
SangatKritis
|
|
Meminta elaborasi
|
84%
|
SangatKritis
|
|
Rata-rata A
|
80%
|
Kritis
|
B
|
KETERAMPILAN
MENSINTESIS
|
||
|
Menerima pandangan dan saran dari orang
lain untuk mengembangkan ide-ide baru.
|
73%
|
Kritis
|
|
Mencari dan menghubungkan antara masalah
yang didiskusikan dengan masalah lain yang relevan
|
75%
|
Kritis
|
|
Mendengarkan dengan hati-hati
|
78%
|
Kritis
|
|
Berfikiran terbuka
|
80%
|
Kritis
|
|
Berbicara dengan bebas
|
84%
|
SangatKritis
|
|
Bersikap sopan
|
88%
|
SangatKritis
|
|
Rata-rata B
|
80%
|
Kritis
|
C
|
KETERAMPILAN
MENGENAL DAN MEMECAHKAN MASALAH
|
||
|
Memberi contoh atau argumentasi yang
berbeda dari yang sudah ada.
|
80%
|
SangatKritis
|
|
Menghadapi tantangan dengan alas an dan
contoh
|
89%
|
SangatKritis
|
|
Meminta klarifikasi
|
86%
|
SangatKritis
|
|
Menanyakan sumber informasi
|
77%
|
Kritis
|
|
Rata-rata C
|
85%
|
SangatKritis
|
D
|
KETERAMPILAN
MENYIMPULKAN
|
||
|
Berusaha untuk memahami
|
73%
|
Kritis
|
|
Memberikan ide dan pilihan yang
bervariasi
|
68%
|
Kritis
|
|
Rata-rata D
|
71%
|
Kritis
|
E
|
KETERAMPILAN
MENGEVALUASI ATAU MENILAI
|
||
|
Mampu mengerjakan soal evaluasi
|
85%
|
SangatKritis
|
|
Mampu menganalisis soal evaluasi
|
81%
|
Kritis
|
|
Rata-rata E
|
83%
|
Kritis
|
Rata-rata berfikir kritis
|
80%
|
Kritis
|
Berdasarkan data lembar observasi
pada tabel 3.6 rata-rata kriteria berpikir kritis mahasiswa per indikator
mengalami peningkatan dibandingkan dengan siklus II. Hal tersebut terbukti dari
:
a)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menghubungkan masalah khusus yang menjadi subjek diskusi dengan
prinsip yang bersifat umum memperoleh skor sebesar 63% meningkat 12% menjadi
75% masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengidentifikasi
permasalahan dengan lengkap dan tepat namun kurang bisa mengembangkannya sesuai
materi dalam Ilmu Komunikasi.
b)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menanyakan pertanyaan yang relevan pada siklus I memperoleh
skor sebesar 5% meningkat 26% pada siklus II menjadi 83% masuk dalam kategori
sangat kritis, yang artinya mahasiswa mampu mengajukan pertanyaan sesuai topik
yang jawabannya merupakan pengembangan dari apa yang ada di kasus.
c)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam meminta eloborasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 55%
meningkat 29% pada siklus II menjadi 84% masuk dalam kategori sangat kritis,
yang artinya mahasiswa mampu secara sukarela mengajukan diri untuk membacakan
hasil diskusi di depan kelas.
d)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menerima pandangan dan saran dari orang lain untuk
mengembangkan ide –ide baru pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat
17% pada siklus II menjadi 73% masuk dalam kritis, yang artinya mahasiswa mau
menerima pandangan dari orang lain serta mengembangkannya dengan konsep yang
diperoleh dengan tepat.
e)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam mencari dan menghubungkan antara masalah yang didiskusikan
dengan masalah lain yang relevan pada siklus I memperoleh skor sebesar 58%
meningkat 17% pada siklus II menjadi 75% masuk dalam kritis, yang artinya
mahasiswa kurang tepat dalam menjelaskan hubungan antar konsep karena tidak
mengetahui konsepnya.
f)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam mendengarkan dengan hati –hati pada siklus I memperoleh skor
sebesar 57% meningkat 21% menjadi 78% pada siklus II masuk dalam kategori
kritis, yang artinya mahasiswa memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dosen
tanpa menulis apapun.
g)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam berfikiran terbuka pada siklus I memperoleh skor sebesar 55%
meningkat 25% menjadi 80% pada siklus II masuk dalam kategori kritis, yang
artinya mahasiswa hanya menghormati pendapat teman lain yang sama dengan
jawabannya.
h)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam berbicara dengan bebas pada siklus I memperoleh skor sebesar
65% meningkat 19% menjadi 84% pada siklus II masuk dalam kategori sangat
kritis, yang artinya mahasiswa dengan berani mau menyampaikan pendapatnya dan
menjawab pertanyaan yang diberikan dosen.
i)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam bersikap sopan pada siklus I memperoleh skor sebesar 64%
meningkat 24% menjadi 88% pada siklus II
masuk dalam kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa menghormati dan
berkata sopan baik pada dosen maupun mahasiswa lain.
j)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam memberi contoh atau argumentasi yang berbeda dari yang sudah
ada pada siklus I memperoleh skor sebesar 56% meningkat 24% menjadi 80% pada
siklus II masuk dalam kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat
dalam memberikan solusi pemecahan masalah namun pendapatnya berbeda dari apa
yang ada di kasus.
k)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menghadapi tantangan dengan alasan dan contoh pada siklus I
memperoleh skor sebesar 55% meningkat 34% menjadi 89% pada siklus II masuk
kategori sangat kritis, yang artinya mahasiswa hanya memberikan alasan namun
tidak memberikan contoh untuk menguatkan alasan.
l)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam meminta klarifikasi pada siklus I memperoleh skor sebesar 56%
meningkat 30% menjadi 86% pada siklus II masuk kateogori sangat kritis, yang
artinya mahasiswa meminta penjelasan kepada mahasiswa lain.
m)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menanyakan sumber informasi pada siklus I memperoleh skor
sebesar 57% meningkat 20% menjadi 77% pada siklus II masuk kategori kritis,
yang artinya mahasiswa kurang lengkap dalam menanyakan sumber informasi
sehingga terkadang menemui kendala dalam pengerjaan.
n)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam berusaha untuk memahami pada siklus I memperoleh skor sebesar
56% meningkat 17% menjadi 73% pada siklus II masuk kategori kritis, yang
artinya mahasiswa bersama kelompok hanya mencermati kasus yang tersedia dan
menanyakan kepada dosen jika menemui kesulitan.
o)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam memberikan ide dan pilihan yang bervariasi pada siklus I
memperoleh skor sebesar 55% meningkat 13% menjadi 68% pada siklus II masuk
kategori kritis, yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan
kesimpulan karena penjelasannya tidak sesuai dengan teori yang ada.
p)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam mengerjakan soal evaluasi pada siklus I memperoleh skor sebesar
65% meningkat 20% menjadi 85% masuk kategori sangat kritis, yang artinya siswa
mampu menilai keputusan yang telah diambil sesuai dengan petunjuk pengerjaan
dengan tepat.
q)
Aspek kemampuan
mahasiswa dalam menganalisis soal evaluasi pada siklus I memperoleh skor
sebesar 60% meningkat 21% menjadi 81% pada siklus II masuk kategori kritis,
yang artinya mahasiswa kurang tepat dalam memberikan penjelasan atas penilaian
yang yang telah diberikan. Rata–rata kriteria kemampuan berpikir kritis
mahasiswa pada siklus II meningkat 21,4% menjadi 79,8% yang mengidentifikasikan
bahwa rata–rata kemampuan berpikir kritis mahasiswa mata kuliah Ilmu Komunikasi
pada kompetensi dasar factor-faktor komunikasi dalam pendidikan menggunakan
model pembelajaran berbsasis masalah termasuk dalam kategori kritis dan sudah
memenuhi indicator keberhasilan 75%. Hal
tersebut dapat dilihat pada table berikut ini :
Tabel
3.7 Kategori Tingkat Berfikir Kritis Mahasiswa Siklus II
Indikator
|
Skor
rata-rata (%)
|
Rata-rata
|
|
A
|
Ketrampilan Menganalisis
|
80
|
80%
(Kategori
Kritis)
|
B
|
Ketrampilan Mensintesis
|
80
|
|
C
|
Ketrampilan Mengenali dan Memecahkan
Masalah
|
85
|
|
D
|
Ketrampilan Menyimpulkan
|
71
|
|
E
|
Ketrampilan Mengevaluasi
|
83
|
Data tabel 3.7 menunjukkan bahwa
tingkat kemampuan berfikir kritis mahasiswa PAP 2012 pada siklus II tergolong dalam kategori kritis pada pembelajaran
Ilmu Komunikasi dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Hal
tersebut terbukti pada skor yang dicapai sebesar 80 %
atau dalam rentang skor 63%-80%.
B. PEMBAHASAN
1.
Aktivitas dosen
melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah.
Penerapan model pembelajaran berbasis masalah tidak terlepas dari RPS meliputi dua komponen
yaitu Pengelolaan KBM yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti,
dan kegiatan penutup dan suasana kelas yang meliputi antusiasme mahasiswa, dan antusiasme
dosen, pengelolaan waktu, dan kesesuaian KBM
yang telah dirancang. Pada Siklus I pengelolaan dosen dalam menerapkan
metode pembelajaran berbasis
masalah
masih tergolong baik. Namun ada 5 indikator
yang harus diperbaiki dalam aktivitas dosen yang memiliki nilai cukup
baik. Pada kegiatan pendahuluan terdapat
2 indicator yaitu mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara
berkelompok dan mengkomunikasikan tujuan
pembelajaran produk, proses, psikomotor, perilaku berkarakter dan keteramplan
social. Selanjutnya pada kegiatan inti ada 2
indikator yaitu memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan
menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat. Kelemahan terakhir terdapat pada
suasana kelas ada 1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi.
Pada kegiatan pendahuluan indicator
mengorientasikan masalah yang akan dicari pemecahannya secara berkelompok
memiliki nilai yang cukup baik dikarenakan suasana di dalam kelas menjadi cukup
aktif ketika dosen meminta mahasiswa untuk mencari pemecahan kasus yang telah
disampaikan. Pada kegiatan pendahuluan,indikator yang memiliki nilai cukup baik
berikutnya mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor,
perilaku berkarakter dan keterampilan social kepada mahasiswa. Mahasiswa kurang
memahami apa yang sudah dijelaskan dosen tentang tujuan pembelajaran memecahkan masalah yang
telah dipilih dan mengembangkan karena dosen kurang memanfaatkan sumber belajar
yang terkait dengan materi proses dan factor-faktor komunikasi pendidikan dan
hanya berceramah sehingga mahasiswa sedikit sekali mendapatkan pengetahuan
seputar masalah konkrit komunikasi dalam pendidikan, sehingga mahasiswa kurang
berinteraksi dalam pembelajaran.
Pada kegiatan inti, indicator
memecahkan masalah yang telah dipilih dan mengembangkan dan menyajikan hasil
diskusi yang telah dibuat juga memiliki nilai cukup baik dikarenakan dosen
masih membimbing mahasiswa dalam memecahkan masalah sekaligus mengembangkan
media pembelajaran yag berbeda dengan kelompok lain ketika akan
mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya, dan belum semuanya bisa menyajikan hasil diskusi dengan
media inovatif pembelajaran. Kelemahan terakhir terdapat pada suasana kelas ada
1 indikator yaitu waktu sesuai dengan alokasi. Dosen kurang memanfaatkan waktu
dengan baik dikarenakan pada saat berdiskusi dosen sering membantu mahasiswa
saat asyik berdiskusi dengan kelompoknya sehingga dosen dalam menjelaskan
materi terkesan terlalu cepat. Dari kelima kekurangan tersebut maka dosen
melakukan refleksi pada siklus II. Disisi lain, tahap aktivitas dosen yang
paling dominan dalam penelitian ini adalah tahap penilaian posttest. Pada tahap
ini pengamat memberikan nilai tinggi karena peneliti begitu disiplin dalam
mengawasi penilaian posttest. Selain itu dalam mengawasi mahasiswa, peneliti
juga dibantu oleh pengamat yang juga berada di dalam kelas. Jadi mahasiswa
menjadi tertib dan mengerjakan soal sendiri ketika menjalani penilaian postest.
Pengelolaan dosen dalam menerapkan
model pembelajaran berbasis masalah ini pada siklus II dapat dikategorikan
baik. Karena pada tahap pendahuluan sudah dapat ditangani dengan baik oleh
dosen dengan menggunakan sumber belajar berupa video tentang komunikasi dalam
pendidikan. Tujuannya untuk menggali wawasan mahasiswa dan pengalaman mereka
ketika proses belajar mengajar di kelas. Dan terbukti mahasiswa termotivasi
belajar dan terampil dalam mengenal dan memecahkan masalah bahkan bisa
menyimpulkan dan mengevaluasi soal kasus yang diberikan oleh dosen dan jika ada materi yang kurang dipahami oleh mahasiswa, mereka
berani bertanya jika ada hal-hal yang kurang dimengerti dalam pertanyaan
latihan kasus. Hal ini merupakan
pertanda bahwa terdapat peningkatan dari siklus I ke siklus II. Refleksi yang
dilakukan pada siklus I yaitu dosen harus mengorientasikan masalah yang akan
dicari pemecahannya secara berkelompok
dan mengkomunikasikan tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor,
perilaku berkarakter dan keteramplan social, memecahkan masalah yang telah
dipilih dan mengembangkan, menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat.
Kelemahan terakhir adalah waktu sesuai dengan alokasi.
Hal ini membuktikan bahwa hasil
penelitian ini mendukung teori dari (M. Taufiq Amir, 2010:21) bahwa PBL
mempersiapkan peserta didik untuk berfikir kritis dan analistis dan untuk
mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai. Selanjutnya hasil
penelitian ini didukung oleh Norris dan Ennis dalam Bahriah (2011) menyatakan
berpikir kritis sebagai berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan pada
pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Nur (1998)
yang menyatakan bahwa salah satu factor yang mempengaruhi kualitas pembelajaran
adalah tersedianya perangkat pembelajaran yang disertai dengan komitmen yang
tinggi untuk menggunakannya dalam setiap pembelajaran. Terlaksananya kegiatan
belajar mengajar dengan baik karena dosen dalam proses pembelajaran memiliki
komitmen yang tinggi untuk menggunakan perangkat pembelajaran. Suatu program
pembelajaran akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan apabila
direncanakan dengan baik, semua komponen pengajaran harus diperankan secara
optimal.
Hal ini sesuai dengan pendapatnya
Sagala (2003) yang mengatakan bahwa
semua komponen pengajaran harus diperankan secara optimal guna mencapai
tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebelum pengajaran dilaksanakan. Agar
proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik maka, dosen harus merancang
pembelajaran yang akan dilaksanakan terutama untuk menentukan pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi yang akan diajarkan dan
membuat indicator untuk mengetahui apakah pembelajaran yang telah dirancang
dapat berjalan dengan efektif atau tidak.
Pembelajaran yang dirancang oleh dosen
hendaknya melibatkan mahasiswa secara penuh agar mahasiswa dapat mengembangkan
potensinya dengan maksimal. Dosen dituntut memiliki kemampuan untuk melibatkan
peserta didik secara aktif selama pembelajaran dan menciptakan suasana yang
menunjang agar tercapai tujuan pembelajaran, yang sesuai dengan kompetensi yang
dimilikinya (Ratumanan, 2004). Hal senada diungkapkan pula oleh Karlimah.
(2010) dalam penelitiannya tentang hasil penelitian disarankan supaya guru
dalam pembelajaran IPA menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem
Based Learning-PBL) sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan hasil belajar
siswa. Pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (Problem
Based Learning-PBL) perlu dikembangkan oleh dosen agar mahasiswa dapat belajar
secara kontekstual ke taraf berpikir tingkat tinggi sehingga hasil belajar yang
diperoleh meningkat.
2.
Hasil Ketrampilan Berfikir Kritis Mahasiswa dalam
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah
Pembahasan dalam penelitian tindakan
kelas ini didasarkan atas hasil pengamatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa
yang dilanjutkan dengan kegiatan refleksi atau kegiatan untuk mengemukakan
kembali kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Berdasarkan hasil
penelitian pada siklus I dan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran Ilmu
Komunikasi pada kompetensi dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi
pendidikan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah mengalami
peningkatan dari segi ketrampilan berfikir kritis.
Hasil penelitian dalam menerapkan
model pembelajaran berbasis masalah mempunyai pengaruh positif terhadap
kemampuan berfikir kritis mahasiswa. Hal ini terbukti bahwa rata-rat berfikir
kritis mahasiswa pada siklus I sebesar 58,4% termasuk dalam kategori cukup
kritis. Pada siklus II rata-rata berfikir kritis mahasiswa mengalami
peningkatan 79,8% termasuk kategori kritis.
PBL mempersiapkan peserta didik
untuk berfikir kritis dan anlistis dan untuk mencari serta menggunakan sumber
pembelajaran yang sesuai. Permasalahan yang diajukan membutuhkan kemampuan
siswa untuk mengeksplorasi berbagai
sumber belajar untuk mengumpulkan bukti, fakta,dan data yang berhubungan dengan
hipotesis yang diajukan. Pada hakikatnya program pembelajaran bertujuan tidak
hanya memahami dan menguasai apa dan bagaimana suatu terjadi tetapi juga
memberi pemahaman dan penguasaan tentang mengapa hal itu terjadi. Berpijak pada
permasalahan tersebut, maka pembelajaran pemecahan masalah menjadi sangat
penting untuk diajarkan (Made Wena, 2009:52).
IV. PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan yang telah disajikan dalam Bab IV, maka dapat ditarik simpulan bahwa
penerapan pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan
kemampuan berfikir kritis (1) Aktivitas dosen melalui penerapan model pembelajaran
berbasis masalah kompetensi dasar memahami proses dan factor-faktor komunikasi
dalam pendidikan mengalami peningkatan dari siklus 1 terdapat 5 indikator yang harus diperbaiki yaitu mengorientasi
masalah yang akan di cari pemecahannya secara berkelompok, mengkomunikasikan
tujuan pembelajaran produk, proses, psikomotor, prilaku berkarakter dan
ketrampilan social, memecahkan masalah yang telah dipilih, mengembangkan dan
menyajikan hasil diskusi yang telah dibuat, waktu sesuai dengan alokasi. Dan meningkat
pada siklus 2 dengan kategori semua indicator keberhasilan pelaksanaan
aktivitas dosen nilainya baik dengan kategori
sangat baik dan pelaksanaannya sesuai dengan rencana pelaksanaan semester.
(2) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah mampu meningkatkan kemampuan
berpikir kritis pada mata kuliah Ilmu
Komunikasi bagi mahasiswa PAP 2012 Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Surabaya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata berpikir kritis mahasiswa pada
pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada siklus
I sebesar 58,4% Mengalami peningkatan
sampai dengan siklus II sebesar 80% sudah
mencapai indikator keberhasilan.
B. SARAN
Beberapa saran sebagai salah satu
solusi alternatif yang ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Penerapan
model pembelajaran berbasis masalah
adalah masalah appersepsi yang kurang sehingga diperlukan kontrol dan
persiapan RPS dan LKM yang lebih baik dari dosen, dengan cara mencari dan
menggunakan sumber belajar yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan.(2) Pembelajaran
Ilmu Komunikasi khususnya pada Kompetensi Dasar memahami proses dan
factor-faktor komunikasi pendidikan sebaiknya dosen membuat contoh kasus yang
fenomenal terjadi di masyarakat contoh gambar / video proses komunikasi pendidikan
yang lebih konkrit dengan menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah sehingga
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Susanti,S.Ak,M.Pd dan
Dr. Waspodo Tjipto Subroto, M.Pd atas arahan dan bimbingannya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amir,M.Taufik.(2009).Inovasi
Pendidikan Melalui Problem Based Learning.Jakarta: Kencana.
Arikunto,
S. (2010). Prosedur penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).
Jakarta : Rineka Cipta
Bahriah
E.P.(2011). Indikator Berpikir Kritis dan Kreatif. On line at http://www.berpikir kritis/internet
kritis/indikator berpikir kritis dan kreatif «
evisapinatulbahriah.htm.10
November 2014.(15:23)
Fisher,
Alec. (2009). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta : Erlangga
Karlimah. (2010). Kemampuan Komunikasi dan
Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan PGSD FIP Universitas
Pendidikan Indonesia. 11(2) : 51-60
Kunandar. (2008). Langkah Mudah penelitian Tindakan Kelas sebagai
Pengembangan Profesi Guru. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada.
Nur,Mohamad.(1998).Teori-teori
Perkembangan Kognitif. Surabaya:UNESA-PSMS
Ratumanan,G.t.danLauren,S.(2004).Evaluasi
Hasil Belajar.Surabaya:UnesaUniversityPress
Sagala, Syaiful. (2003). Konsep dan Makna Pembelajaran.
Bandung : Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2006.
Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses Pendidikan.Jakarta :
Kencana Prenada Media
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 Sistem
Pendidikan Nasional.
Wena,Made.(2009).
Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta : Bumi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar