Sabtu, 12 Maret 2016

KEEFEKTIFAN KOLABORASI ANTARA MODEL CTL DENGAN METODE PROBLEM POSING DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR KAJIAN KEBUTUHAN MANUSIA PADA SISWA SMK

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah agar mengetahui aktivitas guru, aktivitas siswa, hasil belajar siswa,
dan kendala selama diterapkannya model CTL dengan metode Problem Posing. Subyek penelitian
ini ialah peserta didik kelas X TKJ di SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu sejumlah 23 siswa. Dari
hasil Penelitian dapat diperoleh aktivitas guru pada siklus 1 sebesar 75%, siklus 2 84% dan siklus
3 92%. Sedangkan untuk aktivitas siswa pada siklus 1 sebesar 51%, siklus 2 sebesar 79% dan
siklus 3 sebesar 90%. Hasil belajar peserta didik pada siklus 1 menunjukkan sebesar 65%, pada
siklus 2 sebesar 82% dan pada siklus 3 sebesar 86%. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa dengan diterapkannya model CTL dengan metode Problem Posing mampu meningkatkan
aktivitas guru, aktivitas siswa, serta hasil belajar siswa.
Kata Kunci: CTL, Problem Posing, Hasil Belajar
ABSTRACT
Target of this research is knowing teacher activity, student activity, learning outcomes student,
and constraint during applying of model of CTL with method of Problem Posing. Subyek Research
is educative by participant of class of X TKJ in SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu a number of 23
student. From result of Research can be obtained by activity learn at cycle 1 equal to 75%, cycle 2
84% and cycle 3 92%. While for the activity of student at cycle 1 equal to 51%, cycle 2 equal to
79% and cycle 3 equal to 90%. Learning outcomes educative by participant at cycle 1 showing
equal to 65%, at cycle 2 equal to 82% and at cycle 3 equal to 86%. Thereby can be pulled by
conclusion that applied of model of CTL with method of Problem Posing can improve teacher
activity, student activity, and also learning outcomes.
Keywords: CTL, Problem Posing, learning outcomes
I. PENDAHULUAN
Fenomena pendidikan yang hangat muncul pada saat ini yaitu kebanyakan guru sudah mengajar dengan baik, tetapi hasil belajar peserta didik yang diharapkan cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Kita ketahui bahwa jumlah mata pelajaran di SMK lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mata pelajaran di SMA. Ditambah lagi bobot materi pelajaran di SMK juga lebih berat daripada SMA. Materi yang banyak pada setiap pelajaran juga menjadi salah satu faktor pemicu yang menyebabkan hasil belajar siswa rendah.
Sebelum diterapkannya kurikulum 2013, materinya sangatlah banyak. Disamping itu jam pelajaran yang tersedia pada setiap kompetensi dasar juga sangat terbatas, sehingga tidak menutup kemungkinan jika peserta didik terpaksa menghafalkan materi karena jika kita ingin membuat peserta didik paham tentang materi yang mereka terima akan membutuhkan waktu yang sangat banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Johnson (2006) yang mengatakan bahwa waktu para siswa dan mahasiswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan pengajar, dan menyelesaikan latihan-latihan yang dirasa membosankan, alih-alih mengikuti ujian yang bisa mengungkapkan pemahaman siswa, mereka cuma mengikuti ujian-ujian yang mengukur kemampuan mahasiswa menghafalkan fakta. Apabila otak hanya belajar, mengutip, dan berlatih, ngebut semalam sebelum ujian, maka dalam waktu 14 sampai 18 jam, otak akan lupa sebagian besar informasi tersebut, kecuali apabila informasi itu memiliki makna.
Oleh sebab itu, peneliti menawarkan salah satu model pembelajaran dengan harapan untuk membuat peserta didik merasa lebih mudah dalam memahami materi. Salah satu model yang cocok disandingkan dengan kurikulum 2013 saat ini adalah model Contextual Teaching and Learning (CTL).
Blanchard, Berns dan Ericson (dalam Komalasari, 2011) mengemukakan bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) atau pembelajaran konstektual adalah konsep belajar dan mengajar yang menolong guru menghubungkan antara materi yang sedang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa untuk mengaitkan antara pengetahuan yang mereka miliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka, diantaranya sebagai keluarga, warga negara, dan pekerja. Implementasi CTL diharapkan mampu membangun pemahaman peserta didik mengenai materi yang telah diberikan karena peserta didik mengalami materi itu dalam dunia nyata, sehingga peserta didik akan memiliki daya ingat yang tajam akan materi yang mereka dapatkan.
Selain mengimplementasikan model pembelajaran, hasil belajar siswa juga dapat ditingkatkan salah satunya yaitu metode pembelajaran. Metode pembelajaran yang sering digunakan dalam pembelajaran maupun dalam penelitian adalah metode problem posing. Diciptakannya suatu permasalahan oleh peserta didik dalam suatu diskusi akan meningkatkan pemahaman peserta didik, dengan demikian peserta didik akan memiliki daya ingat yang lebih kuat mengenai masalah yang mereka pecahkan.
Materi tentang Kebutuhan Manusia yang begitu banyak memang bisa membuat peserta didik mengalami kesulitan dalam belajar, tetapi banyak penelitian yang mengatakan bahwa masalah ini dapat ditangani dengan model CTL dan metode problem posing. Model CTL diimplementasikan dalam pembelajaran IPS bertujuan agar dapat membantu siswa dalam memaknai dan mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata mereka. Dengan demikian, model CTL yang dikolaborasikan dengan metode problem posing berhasil atau tidak untuk mengatasi masalah ini akan diteliti dalam penelitian ini. SMK Muhammadiyah 5 kalitidu merupakan sekolah yang baru berdiri selama tiga tahun, dimana guru-gurunya sebagian besar belum pernah mengikuti PLPG, sehingga perlu dilakukan penelitian supaya dapat ditawarkannya model pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013. Dengan dikenalkannya model dan metode ini, diharapkan kualitas sekolah dapat meningkat dan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah yang lebih dahulu berdiri khususnya sekolah-sekolah Negeri.
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan informasi bahwa hasil belajat peserta didik kelas X TKJ (Teknik Komputer Jaringan) di SMK Muhammadiyah 5 kalitidu sebagian besar belum mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yaitu sebesar 54 % dan selanjutnya menjadi diatas 54 %. Oleh sebab itu, implementasi model dan metode ini akan diterapkan pada Kompetensi Dasar 3.1 Mengidentifikasi kebutuhan manusia, karena pada Kompetensi Dasar ini terdapat materi yang banyak dan sebagian besar merupakan materi hafalan. Berdasarkan Fenomena yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti mengambil judul penelitian “Implementasi Model Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan metode Problem Posing dalam Meningkatkan Hasil belajar Materi Kebutuhan Manusia pada Siswa kelas X TKJ SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu Bojonegoro”.
Rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :
 (1) Bagaimanakah aktivitas guru dalam
pembelajaran materi kebutuhan manusia melalui kolaborasi model CTL dengan metode problem posing
pada siswa kelas X TKJ di SMK Muhammadiyah 5 kalitidu Bojonegoro?; 
(2) Bagaimanakah aktivitas siswa dalam pembelajaran materi kebutuhan manusia melalui kolaborasi model CTL dengan metode problem posing pada siswa kelas X TKJ di SMK Muhammadiyah 5 kalitidu Bojonegoro?; 
(3) Bagaimanakah peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran materi kebutuhan manusia melalui kolaborasi model CTL dengan metode problem posing pada siswa kelas X TKJ SMK di Muhammadiyah
5 kalitidu Bojonegoro ?
Pembelajaran konstektual pertama kali diusulkan oleh John Dewey, pada tahun 1916. Dewey mengajukan suatu kurikulum dan metodelogi cara mengajar yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman peserta didik (Trianto, 2009).
Blanchard, Berns dan Ericson (dalam Komalasari, 2011) juga mengatakan bahwa pembelajaran merupakan konsep belajar mengajar yang menolong guru agar dapat mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan kondisi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik agar dapat menghubungkan antara pengetahuan yang mereka miliki dengan penerapannya dalam kehidupan peserta didik sebagai anggota keluarga, warga negara, serta pekerja. Trianto (2009) juga memaparkan langkah-langkah penerapan CTL yaitu (a) Kembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan mengalamai pembelajaran yang bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan mengontruks sendiri pengetahuan serta keterampilan barunya (Fase
Konstruktivisme); (b) Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua tema (Fase Inquiri); (c)
Kembangkan rasa ingin tahu peserta didik dengan bertanya (Fase bertanya jawab); (d) Ciptakan
Masyarakat belajar atau belajar kelompok (Fase Masyarakat Belajar); (e) Datangkanlah model sebagai
Contoh pembelajaran (Fase Pemodelan); (f) Lakukanlah refleksi disetiap akhir pembelajaran (Fase
Refleksi); (g) Laksanakan penilaian sebenarnya (Fase Penilaian Autentik).
Salah satu penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian Tasrif
(2007) yang berjudul ”Peningkatan Hasil Belajar Siswa pada Pelajaran Sejarah dengan Menggunakan
Model Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
pada Siswa Kelas XI IPS SMA Negeri 5 Palu”. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa dengan
diterapkannya model pembelajaran berbasis CTL dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) maka
antusias belajar siswa dapat meningkat, selain itu ketrampilan guru dalam pengembangan model
pembelajaran berbasis CTL juga menglami peningkatan.
Selain CTL, penelitian ini juga menawarkan metode Problem Posing. Menurut Thobroni (2011)
pada prinsipnya model pembelajaran problem posing merupakan suatu model pembelajaran yang
mewajibkan peserta didik untuk membuat atau mengajukan soal sendiri melalui latihan soal secara
mandiri. Dengan demikian, tahapan model pembelajaran problem posing adalah sebagai berikut: (a) Guru
menerangkan materi pembelajaran kepada peserta didik. Disarankan juga agar guru menggunaknan alat
peraga agar bisa memperjelas konsep; (b) Guru memberikan perlatihan soal secukupnya; (c) Peserta didik
diminta membuat atau mengajukan 1 atau 2 butir soal yang menantang, dan peserta didik lainnya harus
bisa menyelesaikannya. Tugas ini bisa juga dilakukan secara berkelompok; (d) Pada pertemuan
selanjutnya secara acak, guru meminta peserta didik untuk menyampaikan soal temuan mereka di depan
kelas. Dalam hal ini, guru bisa menetapkan peserta didik secara terpilih berdasarkan bobot soal yang
dibuat oleh peserta didik; (e) Guru memberikan pekerjaan rumah secara individu.
II. METODELOGI
Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah suatu bentuk
penelitian dengan melakukan tindakan-tindakan untuk melakukan pembelajaran di kelas.
Lokasi dan Subjek Penelitian
Lokasi penelitian ini berada pada SMK Muhammadiyah 5 yang beralamatkan di desa Dangkep,
Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Yang menjadi Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa kelas
X TKJ tahun ajaran 2014-2015. Jumlah siswa yang menjadi subjek penelitian yaitu 23 siswa, yang terdiri
dari 5 siswa laki-laki serta 18 siswa perempuan.
Rancangan Penelitian
Terdapat beberapa ahli yang mengemukakan PTK dengan bagan yang berbeda. Secara garis
besar model PTK yaitu Rencana Tindakan, Tindakan penelitian, Observasi, dan Refleksi. Prosedur PTK
dapat dilakukan pada tindakan-tindakan yang biasa disebut dengan siklus.
Data dan Instrumen Penelitian
Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu siswa dan guru. Sumber data yang diperoleh dari guru
dapat berupa kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang diperoleh pada saat
pembelajaran berlangsung. Sedangkan untuk siswa yaitu berupa aktivitas siswa pada saat proses
pembelajaran berlangsung.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : (1) Lembar
observasi aktivitas guru pada saat proses pembelajaran berlangsung; (2) Lembar observasi aktivitas siswa
pada saat proses pembelajaran berlangsung; (3) Lembar tes pada setiap siklusnya (tes hasil belajar dan
evaluasi afektif).
Teknik Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dapat dijelaskan secara singkat yaitu : (1) Data yang
diambil melalui tes hasil belajar siswa yaitu menghendaki jawaban atas hasil belajar siswa yang meliputi
penilaian produk serta afektif selama diterapkannya model CTL dengan metode Problem Posing. Dalam
melakukan penilaian produk atau model tes, peneliti memakai instrumen yang berupa paket soal-soal tes
yang disebut dengan Post test. Post test adalah tes yang diberikan setelah siswa melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan model CTL dan metode problem posing yang bertujuan untuk
mengetahui seberapa jauh pemahaman dan pengetahuan peserta didik tentang materi yang telah mereka
dapatkan. (2) Observasi, digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktivitas guru dan siswa pada saat
kegiatan pembelajaran berlangsung yang akan diamati oleh guru kelas dan observer.
Teknik Analisis Data
Data-data yang didapat dalam penelitian ini akan dianalisis dengan metode analisis deskriptif
kuantitatif.
Analisis pengelolaan pembelajaran
Data yang didapat dari lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran di kelas yang sudah diisi
oleh observer, digunakan untuk menganalisis keterlaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model
CTL dan metode Problem Posing. Analisis tersebut dilakukan dengan cara menafsirkan nilai angka
tersebut ke dalam kalimat yang bersifat kualitatif yaitu skala untuk menentukan keterlaksanaannya.
Hasil Belajar Kognitif
Data hasil belajar kognitif yaitu nilai tes hasil belajar. Sebelum dipakai sebagai instrumen
penelitian, terlebih dahulu butir-butir soal harus diujicobakan kepada kelas lain selain kelas yang akan
dipakai dalam penelitian. Kelas yang dipakai sebagai uji coba instrumen yaitu kelas XI TKJ karena pada
kelas tersebut terdapat siswa yang heterogen dan hampir sama dengan kelas yang dipakai dalam
penelitian, serta kelas XI TKJ juga sudah pernah mendapat materi tentang kebutuhan manusia saat
mereka masih kelas X. Langkah ini dilakukan untuk menguji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, serta
daya beda dari soal yang akan digunakan dalam penelitian.
Analisis Aktivitas Siswa
Data pengamatan aktivitas siswa pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung akan dianalisis
dengan persentase (%) pada setiap aktivitas yang dilakukan.
Indikator Keefektifan
Pada konteks penelitian ini, tingkat keefektifan penelitian dapat dilihat melalui beberapa
indikator diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Hasil belajar merupakan penalaran dan komunikasi
dengan pembelajaran CTL dengan metode Problem Posing mencapai ketuntasan belajar klasikal yaitu
sebesar 85% dari banyaknya siswa yang mendapat nilai atau hasil belajar ≥70. (2) Keaktifan siswa selama
diterapkannya CTL dengan metode Problem Posing berlangsung yaitu ≥85% dari jumlah siswa yang
hadir. (3) Kemampuan pengelolaan kelas yang dilakukan oleh guru selama diterapkannya CTL dengan
metode Problem Posing yaitu ≥85%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengembangan Instrumen
Validitas
Dari hasil uij validitas 60 soal dengan menggunakan SPSS didapatkan soal yang valid berjumlah
49 soal dan soal yang tidak valid berjumlah 11 soal.
Reliabilitas
Dari hasil pengujian dengan menggunakan alat analisis SPSS diperoleh nilai Cronbach alpha
sebesar 0,86 yang menandakan nilai tersebut lebih besar dari 0,60. Jadi, instrumen yang dipakai dalam
penelitian ini adalah reliabel.
Taraf Kesukaran
Dari hasil uji yang dilakukan dengan menggunakan software microsoft office excel 2010
diperoleh hasil yaitu ada 7 soal yang memiliki taraf kesukaran mudah, lalu ada 52 soal yang memiliki
taraf kesukaran sedang, dan hanya ada 1 soal dengan taraf kesukaran sulit. Jadi soal yang mempunyai
taraf kesukaran sulit dan mudah tidak dipakai dalam penelitian ini, sedangkan yang mempunyai taraf
kesukaran sedanglah yang dipakai dalam penelitian ini.
Daya beda
Pengujian instrumen yang paling akhir yaitu daya beda soal yang bertujuan untuk mengetahui
apakah soal bisa membedakan peserta didik yang mempunyai kemampuan tinggi dengan siswa yang
mempunyai kemampuan rendah.
Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan software microsoft office excel 2010
diperoleh hasil yaitu ada 3 soal yang tidak bisa membedakan kemampuan siswa serta 57 soal yang bisa
membedakan kemampuan siswa. Jadi soal yang tidak dapat membedakan kemampuan siswa tidak dipakai
dalam penelitian, sedangkan soal dapat membedakan kemampuan siswalah yang akan dipakai dalam
penelitian ini.
Jadi soal yang dipakai dalam penelitian ini yaitu berjumlah 45. Dari ke 45 soal tersebut dibagi
dalam 3 siklus, yang mana pada setiap siklus terdapat 15 soal.
Aktivitas Guru
Aktivitas Guru pada Siklus 1 didapatkan kriteria keberhasilan sebesar 75 % dan tergolong dalam
kategori cukup baik. Pada pelaksanaan pembelajaran di siklus 1 ini nilai yang paling rendah diberikan
oleh kolabolator pada kemampuan guru ketika melakukan tanya jawab kepada peserta didik. Sedangkan
nilai yang paling rendah urutan kedua yaitu ketika guru melakukan inquiri serta Pengembangan
Konstruktivisme. Kekurangan-kekurangan kegiatan guru yang ada pada siklus ke 1 akan diperbaiki pada
siklus ke 2.
Aktivitas Guru pada Siklus 2 diperoleh kriteria keberhasilan sebesar 84% yang dapat
digolongkan pada kategori Baik. Tetapi, pelaksanaan pembelajaran pada siklus 2 ini nilai yang paling
rendah diberikan oleh kolabolator masih tetap berada pada saat guru melakukan tanya jawab kepada
peserta didik. Kekurangan-kekurangan kegiatan guru pada tahap Tanya jawab pada siklus ke 2
diharapkan bisa diperbaiki pada siklus ke 3.
Aktivitas Guru pada Siklus 3, guru telah memperbaiki kekurangan yang ada pada siklus 2
melalui refleksi, yaitu ketika guru melakukan tanya jawab, guru memberikan hadiah maupun nilai kepada
peserta didik yang berpartisipasi pada tahap ini. Jadi, aktivitas guru pada siklus 3 meningkat menjadi 92%
dan termasuk dalam katergori baik sekali pada ketujuh komponen. Karena data aktivitas guru sudah
mencapai 92% maka nilai ini telah memenuhi indikator keefektifan penelitian yaitu sebesar 85% sehingga
siklus dapat dihentikan pada siklus 3.
Berdasarkan penjelasan diatas maka data perkembangan aktivitas guru pada kegiatan belajar
mengajar disetiap siklusnya mengalami peningkatan yaitu pada siklus 1 sebesar 75%, siklus 2 84% dan
siklus 3 92%.
Aktivitas Siswa
Pada saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung, aktivitas siswa juga dinilai oleh tiga
orang Pengamat agar hasil yang didapatkan lebih obyektif dan akurat. Aktivitas siswa pada siklus 1
diperoleh nilai sebesar 51%. Nilai ini masih tergolong cukup dan masih sangat jauh dari kriteria
keberhasilan penelitian yaitu sebesar 85% dari jumlah siswa yang hadir. Aspek yang mempunyai nilai
terendah adalah aspek konstruktivis, inkuiri, serta bertanya jawab, jadi harus ditingkatkan lagi pada siklus
berikutnya.
Aktivitas siswa pada saat kegiatan belajar mengajar pada siklus 2 diperoleh rata-rata nilai akhir
sebesar 79%. Sebenarnya nilai ini sudah tergolong baik tetapi masih belum mencapai kriteria
keberhasilan penelitian yaitu sebesar 85% dari total peserta didik yang hadir. Aspek yang memiliki nilai
terendah masih terletak pada aspek ke 3 yaitu pada tahap tanya jawab, sehingga harus ditingkatkan lagi
pada siklus berikutnya.
Aktivitas siswa pada saat kegiatan belajar mengajar pada siklus 3 mendapatkan rata-rata nilai
akhir sebesar 90%, nilai ini tergolong sangat baik dan telah memenuhi indikator keefektifan yang telah
ditetapkan dalam penelitian ini penelitian yaitu sebesar 85% dari jumlah siswa yang hadir. Sehingga
siklus dapat dihentikan pada Siklus 3.
Berdasarkan penjelasan diatas maka nilai aktivitas siswa pada setiap siklusnya mengalami
kenaikan yaitu pada siklus 1 sebesar 51%, siklus 2 79% dan siklus 3 90%.
Hasil Belajar Siswa
Setelah peneliti melaksanakan analisis butir soal, lalu peneliti menggunakan instrumen tersebut
untuk mengetahui hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar siswa dalam penerapan Model CTL
dengan metode Problem Posing dapat diketahui dari penilaian autentik yang dilaksanakan pada setiap
akhir siklus dengan KKM sebesar 70. Pada saat pelaksanaan penialaian autentik, jumlah soalnya adalah
15 soal pilihan ganda pada setiap siklusnya.
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, didapatkan hasil belajar siwa mengalami peningkatan,
hal ini dibuktikan dengan analisis perhitungan ketuntasan klasikal. Ketuntasan klasikal pada siklus 1
sebesar 65%, siklus 2 sebesar 82% dan pada siklus 3 sebesar 86%. Karena pada saat siklus 3 ketuntasan
klasikal siswa telah mencapai 86%, maka nilai tersebut telah memenuhi indikator keefektifan yang telah
ditentukan dalam penelitian ini yaitu sebesar 85% dari banyaknya siswa yang memperoleh nilai atau hasil
belajar ≥ 70 jadi, siklus dapat dihentikan pada siklus 3.
PEMBAHASAN
Aktivitas Guru melalui Penerapan Model CTL dengan Metode Problem Posing
Pengelolaan pembelajaran oleh guru dalam menerapkan model CTL dengan metode Problem
Posing pada Siklus I masih tergolong cukup baik. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa tahapan
yang mendapat nilai lebih rendah daripada tahapan lainnya yaitu ketika guru melaksanakan tahap
pengembangan konstruktivisme, inkuiri, serta melakukan tanya jawab.
Nilai pada tahap pengembangan konstruktivisme tergolong rendah dikarenakan ketika guru
mengkonstruk peserta didik dengan menggunakan media gambar, tidak semua siswa dapat melihat
gambar tersebut dengan jelas. Hal ini disebabkan kerena adanya dua hal, pertama karena terbatasnya
fasilitias sekolah yaitu belum memiliki LCD. Kedua, dalam menunjukkan gambar, guru kurang merata
menunjukkannya kepada setiap peserta didik. Seharusnya guru berkeliling sehingga semua peserta didik
benar-benar telah melihat gambar dengan jelas.
Tahap yang mendapat nilai rendah berikutnya adalah pada saat guru melakukan kegiatan inkuiri.
Pada tahap ini, guru kurang mengatur blocking atau membelakangi peserta didik lainnya dan hanya
berfokus pada peserta didik yang telah ditunjuk untuk melaksanakan inkuiri di depan kelas.
Tahap yang terakhir yang mendapat nilai rendah pada siklus I yaitu ketika guru melakukan tanya
jawab dengan peserta didik. Keadaan di dalam kelas menjadi sepi ketika guru meminta siswa untuk
bertanya tentang kejelasan materi yang telah ia sampaikan. Begitu juga ketika guru memberikan
pertanyaan kepada siswa. Siswa terlihat tiidak antusias untuk menjawab pertanyaan dari guru. Dari ketiga
kekurangan tersebut maka guru harus refleksi pada siklus berikutnya.
Disamping itu, tahap aktivitas guru yang paling dominan dalam penelitian ini terletak pada tahap
penilaian autentik. Pada tahap ini, observer memberikan nilai yang tinggi karena pengawasan yang
dilakukan ketika penilaian autentik sangatlah disiplin. Selain itu dalam mengawasi peserta didik, peneliti
juga dibantu oleh observer yang juga berada di dalam kelas. Sehingga, peserta didik mengerjakan soal
sendiri dan menjadi tertib pada saat melakukan penilaian autentik.
Pengelolaan guru dalam menerapkan model CTL dengan metode Problem Posing pada siklus
yang kedua sudah tergolong baik. Ini adalah pertanda bahwa ada peningkatan dari siklus 1 ke siklus 2.
Refleksi yang dilaksanakan pada siklus 1 yaitu guru harus memperbaiki tahap pengembangan
konstruktivisme, inquiri, serta bertanya jawab di siklus 2. Guru berhasil memperbaiki tahap
pengembangan konstruktivisme di siklus 2. Jika pada siklus 1 tahap konstruktivisme guru kurang merata
dalam menunjukkan gambar, maka pada siklus 2 guru menjadi berkeliling kesemua peserta didik,
sehingga mereka benar-benar telah memperhatikan gambar dengan sangat detail.
Nilai aktivitas guru yang paling dominan pada siklus 2 ini tetap berada pada tahap penilaian
autentik. Pada siklus 2, guru memberikan motivasi yang lebih kepada peserta didik agar mereka
mengerjakan soal sendiri dan tidak saling mencontek, serta memotivasi peserta didik agar dapat
meningkatkan hasil belajarnya yang harus lebih baik dari siklus sebelumnya.
Tahap lainnya yang diperbaiki dalam siklus 2 yaitu saat pelaksanaan inkuiri. Jika pada siklus 1
guru kurang perhatian terhadap blocking atau membelakangi peserta didik lainnya dan hanya fokus pada
peserta didik yang telah ditunjuk untuk melaksanakan inkuiri di depan kelas maka pada siklus 2 guru
telah memperbaikinya dengan tidak membelakangi peserta didiik lainnya serta fokus terhadap seluruh
peserta didik ketika melakukan inkuiri. Tetapi pada tahap bertanya jawab guru masih belum bisa
memotivasi siswa untuk lebih aktif. Oleh karena itu refleksi perlu dilakukan lagi untuk meningkatkan
penilaian aktivitas guru pada berikutnya.
Setelah dilakukan refleksi yaitu pada tahap bertanya jawab, maka pada siklus 3 guru menjadi
bisa memberikan motivasi kepada siswa supaya aktif. Caranya yaitu memberikan poin hadiah kepada
peserta didik yang bertanya maupun menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru. Pengelolaan guru
pada saat menerapkan model CTL dengan metode Problem Posing di siklus yang ke-3 menjadi
meningkat dan termasuk dalam kategori baik sekali serta telah memenuhi indikator keberhasilan yang
telah ditentukan dalam penelitian ini. Jadi, siklus dapat dihentikan pada siklus 3.
Dari paparan diatas terbukti bahwa hasil penelitian ini mendukung teori dari Johnson (2006)
yang mengatakan bahwa “Guru CTL yang bermutu memungkinkan peserta didik untuk tidak hanya dapat
mencapai standar nilai akademik pada lingkup nasional, tetapi juga mendapatkan keahlian dan
pengetahuan yang penting untuk belajar selama hidup mereka”. Berdasarkan kalimat “Guru CTL yang
bermutu”, memiliki arti bahwa dalam menerapkan model CTL guru harus menguasai seluruh komponen
yang ada pada model CTL, karena aktivitas guru dalam menerapkan model CTL sudah tergolong kategori
baik sekali, maka guru dapat dikatakan sebagai guru CTL yang bermutu seperti yang dikakatan oleh
Johnson.
Selanjutnya Johnson (2006) juga mempertegas bahwa “Guru CTL yang baik memiliki dua cirri
yaitu: Pertama, mereka menghargai dan mengetahui setiap materi yang mereka sampaikan. Pada tiap
tujuan akademik yang mereka harapkan bisa dikuasai oleh peserta didik, telah mereka kuasai terlebih
dahulu. Yang kedua, mereka memerhatikan peserta didik dengan kebaikan hati dan kasih sayang yang
tulus. Kedua kualitas ini, yaitu sebagai tutor dan seorang yang ahli, akan memungkinkan guru CTL untuk
bisa mengubah kehidupan peserta didik mereka”. Karena aktivitas guru dalam penelitian ini sudah
tergolong dalam kategori baik sekali, hal ini berarti bahwa dalam menerapkan CTL guru telah menguasai
tujuan akademik yaitu untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Selain mendukung teori-teori, hasil penelitian ini juga mendukung beberapa hasil penelitian
yaitu penelitian milik Tasrif (2007), Wilujeng (2008), Hady, dkk (2013), dan Sriati (2012) yang
mengatakan bahwa dengan diterapkannya model CTL maka akan dapat meningkatkan aktivitas guru.
Aktivitas Siswa melalui Penerapan Model CTL dengan Metode Problem Posing
Penilaian aktivitas siswa diadobsi dari 7 komponen yang ada dalam model CTL. Karena Model
CTL dalam penelitian ini dikolaborasikan dengan metode Problem Posing maka aspek yang dinilai pada
aktivitas siswa berkembang menjadi menjadi 9 aspek. Hasil aktivitas siswa pada siklus 1 masih tergolong
cukup. Hal ini dikarenakan sebagian besar peeserta didik belum mengerti tentang model CTL dengan
Problem Posing, sehingga peserta didik terlihat kebingungan dan canggung karena mereka terbiasa diajar
dengan model pembelajaran langsung.
Nilai aktivitas siswa yang paling rendah pada siklus 1 terletak pada tahap Pengembangan
konstruktivisme, Inkuiri, dan bertanya jawab. Sebagian besar peserta didik masih malu-malu atau bahkan
takut untuk menyampaikan pendapatnya, jadi keadaan di dalam kelas terasa hening. Hal ini dikarenakan
peserta didik masih menyesuaikan diri dengan model CTL dan Problem Posing yang belum pernah
mereka alami sebelumnya.
Disisi lain, nilai aktivitas siswa yang paling dominan pada siklus 1 terdapat pada tahap
menjawab tes yang telah diberikan oleh guru. Walaupun jawaban peserta didik sebagian besar belum
tepat tetapi mereka sangat antusias.
Pada siklus 2, peserta didik sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan model CTL dan metode
Problem Posing meskipun belum sepenuhnya. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan nilai aktivitas
siswa pada siklus 2 yang semula berada pada kriteria cukup menjadi meningkat pada kriteria baik. Tetapi,
disisi lain peserta didik belum berpartisipasi secara maksimal pada tahap bertanya jawab dan observer
juga memberikan nilai yang paling rendah pada tahap ini.
Sedangkan nilai aktivitas siswa yang paling dominan pada siklus 2 terletak pada saat mereka
melakukan pembagian kelompok. Pada tahap ini peserta didik begitu antusias untuk berpindah tempat
menuju kelompoknya dan kelompoknya pun menjadi heterogen.
Setelah guru melakukan refleksi dan memberi motivasi berupa tambahan nilai atau poin dan
hadiah bagi setiap peserta didik yang bertanya maupun menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru
maka pada siklus 3 nilai aktivitas siswa menjadi meningkat dan tergolong pada kriteria sangat baik.
sehingga, siklus dapat dihentikan pada siklus 3 karena nilainya telah memenuhi kriteria keberhasilan yang
telah ditentukan dalam penelitian ini.
Dengan demikian, penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh John Dewey (dalam
Tasrif, 2007) yang mengatakan bahwa peserta didik akan belajar dengan baik jika apa yang mereka
pelajari terkait dengan apa yang telah mereka ketahui dan dengan peristiwa atau kegiatan yang akan
terjadi di sekelilingnya. Pada kalimat “peristiwa atau kegiatan yang akan terjadi di sekelilingnya”
merupakan penerapan dari model CTL dan metode Problem Posing. Kegiatan yang dimaksud oleh John
Dewey adalah penerapan model CTL karena dengan diterapkannya model CTL maka peserta didik
merasa melakukan kegiatan yang nyata dan benar-benar terjadi di sekitarnya. Sedangkan peristiwa yang
terjadi yang dimaksud oleh John Dewey adalah dengan diterapkannya metode Problem Posing, maka
peserta didik merasa merasakan dan mengalami permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Sehingga,
peserta didik akan belajar dengan baik dani aktivitas siswa yang meningkat, dikarenakan yang mereka
pelajari terhubung dengan kegiatan atau peristiwa di ada disekitarnya karena mereka mendapatkan
penerapan model CTL dan metode Problem Posing.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Johnson (2006) ia mengatakan bahwa “tak sedikit guru
yang berkata ketika mereka mengaitkan pelajaran dengan kehidupan peserta didik, semua peserta
didiknya maju dengan pesat. Peserta didik yang bandel dan acuh tak acuh menjadi lebih fokus dalam
belajar, serta prestasi peserta didik yang sudah baik menjadi meningkat lagi. Guru yang mengaitkan
pelajaran dengan kehidupan nyata peserta didik merupakan pencerminan penerapan model CTL,
sedangkan “peserta didiknya maju dengan pesat, peserta didik yang bandel dan acuh tak acuh menjadi
lebih fokus dalam belajar” berarti aktivitas siswa yang menjadi meningkat pada saat pembelajaran
berlangsung.
Pendapat ini juga dipertegas oleh Salemi (2005) dalam penelitiannya, ia mengatakan bahwa
“Kuliah dengan menggunakan ide-ide dalam bidang ekonomi agar mendapatkan wawasan penting dalam
isu-isu dan permasalahan yang menarik serta yang sesuai adalah motivator yang kuat. Kuliah ini bisa
menarik mahasiswa untuk menjadikan mereka lebih semangat dalam pembelajaran ekonomi”. Kata “lebih
semangat” merupakan perwujudan dari meningkatnya aktivitas siswa dalam penelitian ini.
Selain mendukung teori, hasil penelitian ini juga mendukung beberapa hasil penelitian seperti
pada hasil penelitian Sriati (2012), Tasrif (2007), serta Wilujeng (2008), yang mengatakan bahwa
penerapan model CTL maka aktivitas siswa dapat meningkat.
Hasil Belajar Siswa melalui Penerapan Model CTL dengan Metode Problem Posing
Ketuntasan hasil belajar yang ditinjau pada setiap individu merupakan ketuntasan individu
sedangkan ketuntasan secara keseluruhan peserta didik merupakan ketuntasan klasikal. Instrumen yang
dipakai untuk mengetahui hasil belajar kognitif peserta didik dengan menggunakan butir 45 soal
subyektif, dimana pada setiap siklusnya terdiri dari 15 butir soal.
Berdasarkan analisis data hasil belajar siswa memperlihatkan adanya peningkatan ketuntasan klasikal
siswa disetiap siklusnya yaitu sebesar 65% pada siklus 1, siklus 2 sebesar 82% dan pada siklus 3 sebesar
86%. Pada siklus 1 memperlihatkan bahwa ketuntasan belajar klasikal siswa sebesar 65%. Namun nilai ini
belum mampu memenuhi indikator target keberhasilan peneliti yaitu sebesar 82% oleh sebab itu guru dan
pengamat perlu melakukan refleksi dari kekurangan yang terdapat pada siklus 1. Kekurangan tersebut
dapat dilihat berdasarkan data analisis aktivitas dari guru dan siswa pada siklus 1 yang memiliki nilai
terendah pada tahap konstruktivime, inquiri, dan tanya jawab.
Pada tahap konstruktivisme dan inquiri, peserta didik kurang mampu merespon guru karena
mereka beranggapan bahwa setelah itu guru akan menjelaskan materi satu per satu secara detail seperti
saat model pembelajaran berlangsung. Begitu juga saat berlangsungnya proses tanya jawab yang sebagian
besar peserta didik tidak begitu antusias dan belum berani bertanya jika terdapat materi yang belum
mereka rasa paham karena mereka telah terbiasa dengan mendengarkan penjelasan dari guru seperti pada
model pembelajaran sedang langsung.
Setelah dilaksanakan postes, kebanyakan kesalahan jawaban peserta didik terdapat pada
indikator “mendefinisikan pengertian akan kebutuhan dan keinginan”. Perhatian mereka mengenai
indikator ini kurang maksimal dikarenakan pada saat itu guru tidak memperhatikan apakah peserta didik
yang berada di belakang mampu melihat media gambar yang diterangkan dengan detail apa belum. Tidak
meratanya guru dalam menunjukkan media gambar berdampak kurangnya pemahaman peserta didik akan
indikator “mendefinisikan pengertian akan kebutuhan dan keinginan”, sehingga dapat terlihat dari
indikator ini memiliki nilai terendah dibanding dengan indikator yang lainnya.
Pada siklus 2 memperlihatkan kemajuan ketuntasan belajar klasikal peserta didik. Pada post-test
siklus 2 ketuntasan hasil belajar klasikal peseta didik sebesar 82%. Meskipun belum mampu memenuhi
target dari indikator keberhasilan penelitian yaitu sebesar 86%, akantetapi penguasaan materi pada peserta
didik tentang model CTL dan Problem Posing menunjukkan peningkatan. Pada siklus ini pula guru sudah
seharusnya melaksanakan pencerahan mengenai sifat kebutuhan akan manusia yang sebenarnya adalah
terbatas. Antusias dari peserta didik pada siklus ini juga mengalami peningkatan, terlebih pada saat
peralihan dari tahap pertama ke tahap yang lainnya mereka nampak begitu semangat dan sangat antusias
terlebih pada saat tahap konstruktivisme dan tahap inquiri, akantetapi disisi lain peserta didik belum
sepenuhnya berani melaksanakan tanya jawab dengan guru.
Hal ini dapat dijadikan bahan refleksi untuk guru dan juga pengamat untuk siklus berikutnya. Agar siswa memiliki motivasi yang tinggi pada saat tahap tanya jawab, oleh sebab itu guru memberikan motivasi mengenai poin bagi setiap peserta didik yang berani bertanya maupun menjawab pertanyaan dari guru pada saat sesi tanya jawab.
Akhirnya pada siklus 3 kriteria ketuntasan belajar klasikal peserta didik mencapai 86%, berarti nilai ini telah mencapai indikator tingkat keberhasilan penelitian yaitu sebesar 86%. Sebagian besar peserta didik juga antusias dalam mengikuti proses pembelajaran di setiap aspeknya meskipun tetap ada beberapa peserta didik tidak tuntas yang dikarenakan memang peserta didik tersebut tidak memiliki kemampuan seperti peserta lainnya. Meningkatnya ketuntasan klasikal siswa mulai dari siklus 2 ke siklus 3 memang tidak sebesar peningkatan dari siklus ke 1 ke siklus ke 2. Hal ini dikarenakan peserta didik mengalami kejenuhan. Ditabah lagi materi yang ada pada siklus ke 3 tergolong agak berat bagi peserta didik dan soal post test juga sebagian besar ada yang berbahasa inggris.
Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa penelitian ini mendukung teori yang dikemukakan oleh Johnson (2006) ia mengatakan bahwa “tak sedikit guru yang berkata, ketika mereka mengaitkan pelajaran dengan kehidupan peserta didik, semua peserta didiknya maju dengan pesat. Peserta didik yang bandel dan acuh tak acuh berubah menjadi lebih fokus dalam belajar, dan prestasi peserta didik yang sudah baik akan lebih meningkat lagi”. Mengaitkan pelajaran dengan kehidupan peserta didik berarti menerapkan model CTL. Dengan menerapkan CTL, maka prestasi belajar peserta didik menjadi meningkat. Pendapat ini dipertegas oleh Salemi (2005) dalam penelitiannya yang mengatakan bahwa “kami merubah instruktur dosen dan mahasiswa yang semula menghafal menjadi mengaplikasikan ekonomi untuk memecahkan masalah yang berarti dan dilakukan secara berulang-ulang. Dengan menghafal maka mahasiswa akan cepat lupa, sedangkan dengan mengaplikasikan ekonomi untuk memecahkan masalah akan membuat mahasiswa menjadi “melek ekonomi”. Dengan menjadi “melek ekonomi, maka mahasiswa akan mencapai pemahaman yang abadi dan kemudian membuat hasil belajar siswa menjadi meningkat.
Selain Johnson, penelitian ini juga mendukung teori yang dikemukakan oleh John Dewey (dalam Tasrif, 2007) ia mengatakan bahwa peserta didik akan belajar dengan baik jika apa yang mereka pelajari terkait dengan apa yang telah mereka ketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di
sekitarnya. Yang dimaksud dengan apa yang mereka pelajari terkait dengan apa yang mereka ketahui dan
dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi di sekelilingnya adalah dengan diterapkannya model
CTL. Sedangkan “siswa akan belajar dengan baik” dalam penelitian ini merupakan hasil belajar siswa
yang telah mencapai indikator keberhasilan penelitian. Disisi lain, penelitian ini juga mendukung
pendapat Gonzales (dalam Priyatno, 2003) yang mengatakan bahwa dengan diterapkannya Problem
posing pada mata pelajaran Matematika, maka keterlibatan peserta didik secara aktif dapat meningkat.
Selain mendukung teori, penelitian ini juga mendukung beberapa hasil penelitian antara lain
yaitu penelitian Uzwardani (2011), Hady, dkk (2013), Kusmaryono (2011), Sriati (2012), Wilujeng
(2008), Nugraha, dkk (2011), dan Anwar (2009) yang mengatakan bahwa dengan diterapkannya model
CTL maupun Problem Posing dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa.
Berdasarkan data yang ada di lapangan, maka dalam penelitian ini terdapat temuan yang berhubungan
dengan hasil belajar kognitif siswa yaitu pada model CTL fase Masyarakat belajar yang pada saat
bersamaan fase ini dikolaborasikan dengan metode Problem Posing serta ketika fase pemodelan. Dengan
adanya metode Problem Posing dan fase pemodelan, peserta didik akan mengalami pembelajaran yang
bermakna yang berarti peserta didik seolah-olah mengalami kejadian sama seperti yang ada pada materi
kebutuhan manusia di kehidupan nyata. Pembelajaran yang mengandung makna bagi peserta didik ini
akan membawa dampak positif terhadap daya ingat peserta didik. Dampak positif tersebut adalah peserta
didik mempunyai daya ingat kuat akan materi yang telah mereka dapatkan. Dengan adanya ingatan yang
kuat tentang materi, maka peserta didik dapat memiliki hasil belajar kognitif yang tinggi pula.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini yaitu Hasil observasi tentang aktivitas guru
melalui kolaborasi model CTL dengan metode Problem Posing pada materi kebutuhan manusia pada
kelas X TKJ SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada
setiap siklusnya. Peningkatan ini terlihat dari data aktivitas guru untuk setiap siklusnya. Hasil observasi
aktivitas siswa melalui kolaborasi model CTL dengan metode Problem Posing pada materi kebutuhan
manusia pada kelas X TKJ di SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu terdapat peningkatan yang signifikan. Hal
ini dibuktikan dengan data aktivitas siswa pada setiap siklusnya yang meningkat. Hasil belajar siswa kelas
X TKJ pada SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu materi kebutuhan manusia juga mengalami peningkatan.
Peningkatan ini terlihat dari data hasil evaluasi peserta didik di setiap akhir siklusnya.
Sedangkan saran yang diberikan peneliti antara lain Guru disarankan ketika mengkolaborasikan
model CTL dengan metode Problem Posing sebaiknya menerapkan fase konstruktivisme menggunakan
media gambar atau video yang besar dan ditampilkan dengan menggunakan LCD supaya semua peserta
didik bisa melihat gambar atau video lebih jelas. Selanjutnya ketika Guru mengkolaborasikan model CTL
dengan metode Problem Posing sebaiknya memotivasi peserta didik terlebih dahulu dan memberikan
hadiah atau poin bagi peserta didik pada fase bertanya jawab supaya peserta didik menjadi termotivasi
untuk berpartisipasi dalam mengikuti pembelajaran. Untuk peneliti selanjutnya, sebaiknya dalam
mengkolaborasikan Model CTL dengan metode Problem Posing hanya pada materi yang hanya
mengandung hafalan atau konsep dan kurang cocok jika diterapkan pada materi yang mengandung
perhitungan. Kemudian juga disarankan supaya guru mengalokasikan jam pelajaran secara cermat pada
saat kegiatan pembelajaran Model CTL dengan metode Problem Posing pada materi kebutuhan manusia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah. Ucapan terima kasih kepada stake holder SMK Muhammadiyah 5 Kalitidu, Dr.
Wasposo yang telah memberikan pencerahan, serta teman-teman yang turut membantu dalam proses
editing.
REFERENSI
Anwar, Khoirul (2009). Peningkatan Hasil Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran Matematika Melalui
Pembelajaran Problem Posing – STAD pada Siswa Kelas XII IPA-1 SMANegeri Dempet Tahun
Pelajaran 2008/2009. Widya tama vol. 6. No.1 Maret 2009.
Hady, dkk. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual pada Praktikum Sistem Kelistrikan Body
Otomotif untuk Meningkatkan Hasil Belajar Mahasiswa D3 Teknik Mesin Unesa. JPTM (Online),
Vol 1, No. 2. (http://ejournal.unesa.ac.id/article/1753/45/article.pdf) diakses 1 februari 2013
Johnson, Elaine B. (2006). Contextual Teaching Learning. Bandung : MLC
Komalasari, Kokom. 2011. Pembelajaran Kontekstual. Bandung: PT. Refika Aditama
Kusmaryono, Imam. 2011. Keefektifan Pembelajaran Kontekstual Berorientasi Penemuan Berbantuan Cd
Pembelajaran Dan Lks Pada Materi Bilangan Bulat Di Sekolah Dasar.
(Online)(http://unissula.ac.id/newver/images/jurnal/februari2012/imam%20kusmaryono-web.pdf),
diakses 21 Juni 2012.
Nugraha, Oktavianus Adi, dkk. (2011). Effort To Improve Student Achievement In Learning Through
The Development Of Function Composition Method Of Discussion On The Approach To
Contextual Teaching And Learning (CTL) In Class XI IPA 1 Salatiga Christian Senior High
School 1. (Online) ( http://eprints.uny.ac.id/960/1/P%20-%2017.pdf), diakses 9 Juli 2012
Priyatno, Nanang & Darhim. 2003. Problem Posing dan Problem Solving dalam Pembelajaran
Matematika. Bandung: Pustaka Ramadan.
Salemi, Michael K. 2005. Teaching Economic Literacy : Why, What and How. International Review of
Economics Education, Vol 4, Issue. 2
Sriati. 2012. Penerapan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Mata Pelajaran IPS untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas Vi C SDN Beringin 477 Surabaya. (Online)
(http://ejournal.unesa.ac.id/article/3801/18/article.pdf) diakses 1 februari 2013
Tasrif .(2007).Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pelajaran Sejarah Dengan Menggunakan Model
Pembelajaran CTL (Contextual Teaching And Learning) Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada Siswa Kelas Xi Ips Sma Negeri 5 Palu Jurnal Sokoguru. ,(Online),Vol.1, No.2-3
(http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/12&3076874.pdf) diakses 7 Juli 2012
Thobroni, Muhammad dan Arif Mustofa. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: AR-Ruzz Media.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Prenada Media Group
Uzwardani. 2011. Penerapan CTL (Contextual Teaching and Learning) untuk Meningkatkan Aktivitas
dan Hasil Belajar Siswa Kelas V pada Pembelajaran Sains ‘Sifat-Sifat Cahaya’ Di SDN
Pohsangit Ngisor Kabupaten Probolinggo ,(Online),
(http://ipoenk23.blogspot.com/2011_07_01_archive.html) diakses 1 februari 2013
Wilujeng. 2008. Penerapan Pendekatan CTL (Contextual Teaching and Learning) dalam Pembelajaran
Tematik Tema Lingkungan untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas II SDN Klampis
Ngasem IV No. 560 Surabaya, ,(Online), (http://ejournal.unesa.ac.id/article/1306/18/article.pdf)
diakses 1 februari 2013.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar